KAWI SUARA
KAWI SUARA
Jalan Mencari Pencerahan
Senin, 13 Maret 2017
Ahmad Pajali Binzah: [Cerpen] Tersesat di jaman Majapahit. #1
Rabu, 01 April 2015
Manfaat batu permata
MANFAAT BATU PERMATA
Dalam penilaian manusia ada beberapa jenis batu yang sangat digemari, yaitu Berlian, Jambrut, Mira, Mata Kucing, dan Safir. Di samping jenis-jenis tersebut masih banyak pula yang digemari orang, terutama di Indonesia, seperti kecubung, pirus, kalimaya dan berbagai jenis akik dengan berbagai penamaan yang diberikan oleh para penggemarnya.
Bagi mereka yang mau membeli dengan harga tinggi disebabkan oleh beberapa hal, misalnya senang kepada warnanya, kemurniannya, modelnya, besarnya, langkanya, sternya (sinar yang bergerak-gerak di batunya), tetapi ada pula orang yang memakainya karena batunya dirasakan membawa rejeki/hoki, menyehatkan tubuhnya, menimbulkan rasa sayang dari orang lain, dan sebagainya.
Apakah hal tersebut benar atau tidak? Apakah batu permata bisa mempengaruhi hal baik atau buruk bagi pemakainya? dan masih banyak lagi pertanyaan tentang hal tersebut. Dalam tulisan ini penulis akan menjabarkan pengaruh batu permata bagi kita sebagai pemakainya.
Semua yang ada di alam semesta ini terdiri dari getaran, baik benda yang dapat dideteksi oleh pancaindera kita maupun yang tidak dapat dideteksi oleh pancaindera kita. Getaran menghasilkan energi atau kekuatan. Mungkin diantara pembaca ada yang pernah mendengar pengobatan dengan musik atau dengan warna yang sudah dipraktekkan di luar negeri atau yang sudah lazim digunakan di dunia kedokteran yaitu dengan penyinaran infra merah. Dalam film silat cina yang sering kita lihat, pesilat/jagoan di film tersebut dapat mengalahkan musuhnya dengan senjata berupa alat musik yang dimainkan dengan nada tinggi. Di perguruan pencak silat indonesia, seorang pesilat dapat menebak warna sapu tangan atau mengendarai kendaraan dengan mata tertutup. Hal tersebut tidaklah aneh jika kita mengetahui bahwa seluruh alam semesta ini terdiri dari getaran. Warna memiliki getaran, bunyi memiliki getaran, dan bentuk pun memiliki getaran.
BATU PERMATA
Batu permata terjadi di dalam perut bumi dan prosesnya berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum batu tersebut ditemukan dan diolah hingga dapat dipakai oleh manusia sebagai permata. Batu-batu tersebut mengandung berbagai zat, seperti zat besi, tembaga, kapur dan lain-lain.
Pengaruh batu perhisan terdiri dari empat unsur yaitu:
1. Kemurniannya
Pengertian kemurnian disini adalah keasliannya, bukan sintetis atau masakan dan kekerasannya. Kemurnian ini mempengaruhi batu permata dalam menerima dan mengirimkan getaran. Batu permata yang terbentuk dalam perut bumi ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun tidaklah sama dengan batu sintetis, walaupun batu sintetis pun memiliki getaran. Semakin murni sebuah batu permata maka semakin besar tenaga/energinya untuk menerima dan mengirim getaran. Jika batu permata ada “kotoran” di dalamnya, kotoran tersebut dapat menghambat proses pengiriman dan penerimaan getaran-getaran alam. Tetapi ada pula pada kasus tertentu (sekalipun jarang) kotoran pada batu permata tersebut malah memperkuat gataran yang diterima maupun yang dikirim.
2. Kekerasan Batu Permata
Kekerasan batu permata biasanya diukur dengan skala Mohs. Misalnya saja berlian nilai kekerasannya 10, maka batu permata yang tergolong nilai kekerasannya tinggi adalah 8 sampai 10, yang tergolong menegah adalah 6 sampai 7, dan yang tergolong rendah adalah 5 ke bawah.
3. Warna Batu Permata
Warna memiliki berbagai getaran, tergantung dari warnanya. Sama halnya jika seseorang yang dapat melihat aura manusia, sehingga bisa mendeteksi keadaan manusia dari warna aura yang terpancar dari tubuhnya (mood, kesehatan, dll). Bahkan di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Kota/Beos (Jakarta) ada yang menyediakan jasa foto aura, dan setelah hasil fotonya dianalisa biasanya para pengguna jasa foto aura tersebut diberi batu permata yang katanya untuk menetralisir aura negatif yang ada pada dirinya. Warna merah, biru, hijau, kuning, putih, abu-abu dan warna lainya memiliki gataran yang berbeda dan memiliki arti yang berbeda pula untuk manusia. Mungkin diantara para pembaca yang pernah tau tentang “cakra” (titik-titk pusat energi dalam tubuh manusia, yang biasa disebut Kundalini) akan dapat memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang warna yang dikaitkan dengan setiap cakra.
4. Bentuk Batu Permata
Berdasarkan pengalaman, bentuk suatu benda menghasilkan berbagai pengaruh yang berbeda-beda. Bentuk bulat, piramid, kerucut, segi empat atau bentuk lainnya memiliki pengaruh yang berbeda-beda. Demikian juga bentuk batu permata, tetapi kalau kita ingin mempertajam pengaruh batu yang kita pakai maka bentuk facet-facet seperti pada berlianlah yang paling banyak menghasilkan energi. Pengaruh batu permata belum bisa diketahui dan belum bisa menghasilkan energi yang cukup pengaruhnya bagi si pemakai jika hanya digunakan/dipakai hanya satu atau dua hari saja. Oleh karena itu pakailah batu permata minimum 6 bulan secara kontinu di tubuh kita.
5. Ukuran Batu Permata
Besar-kecilnya batu permata juga mempengaruhi besar-kecilnya energi yang diterima maupun yang dipancarkan oleh batu tersebut. Semakin besar batu permata tentunya semakin besar pula energi yang dihasilkan.
KETERBATASAN PENGARUH BATU PERMATA
Jangan sampai para pembaca berkesimpulan bahwa pengaruh batu permata yang dipakainya itu mutlak seperti yang diharapkan. Pengaruh batu permata pasti ada tetapi pengaruhnya itu dibatasi oleh hukum Allah bagi setiap hambanya. Jadi nasib yang sudah di tentukan baik akan memaksimalkan pengaruh batu permata yang dipakai dan sebaliknya.
MEMILIH BATU PERMATA YANG COCOK
Berdasarkan penjelasan terdahulu bahwa semua yang ada di alam semesta ini terdiri dari getaran maka dasar untuk memilih batu permata semestinya juga berdasarkan getaran. Dalam prakteknya, getaran manusia tercermin dalam manusia itu sendiri seutuhnya dan terbentuk di dalam kelakuannya, keinginannya, ucapannya, dan lain-lain dari pribadi manusia tersebut. Untuk mengetahui batu permata yang cocok bagi kita maka saya menganjurkan :
1. Lihat daftar tentang warna dan batu permata (ada pada pembahasan selanjutnya) yang ingin anda pakai.
2. Ikuti perasaan anda sendiri, jenis warna dan batu permata mana yang paling anda senangi. Kalau anda merasa senang, Pakailah! Karena perasaan senang pada saat memilih sebuah batu permata berarti getaran batu tersebut cocok dengan getaran tubuh anda.
3. Mengkonsultasikan pada orang (baca: orang/paranormal yang mengerti tentang batu permata) yang anda kenal benar.
CARA MEMAKAI BATU PERMATA
Untuk mengetahui cara memakai batu permata disesuaikan dengan tujuan dari si pemakai, apakah sebagai gelang, cincin, ikat pinggang, kalung dan sebagainya. Kalau di lihat dari ilmu cakra/kundalini memang ada bagian tubuh tertentu untuk dipakaikan batu permata sesuai dengan tujuan kita memakainya.
Saya akan menjabarkan pengetahuan dari dunia spiritual tentang fungsi jari tangan:
Jari Kelingking, berkaitan dengan kekuatan kejiwaan
Jari Manis, berkaitan dengan tenaga atau vitalitas tubuh
Jari Tengah berkaitan dengan kekuatan kemauan
Jari Telunjuk berkaitan dengan kebijaksanaan
Ibu jari berkaitan dengan ego yang murni
Kemudian dapat juga ditambahkan bahwa bagian kiri dari tubuh adalah untuk menerima getaran dan bagian kanan dari tubuh untuk mengirimkan getaran, terutama pada kepala bagian kiri dan kanan.
Jadi apakah anda akan memakainya di tangan kanan atau tangan kiri tergantung niat anda sendiri. Untuk menyembuhkan orang lain, pergunakanlah batu permata di tangan/ bagian tubuh sebelah kanan, untuk menambah tenaga dan vitalitas pergunakanlah di jari Manis sebelah kiri. Intinya untuk memancarkan pengaruh ke luar pakailah di sebelah kanan tubuh , untuk mempengaruhi diri sendiri pakailah di sebelah kiri tubuh.
Syarat untuk memperolah hasil yang maksimal adalah anda harus bertakwa kepada Allah dan memasrahkan hasil usaha anda kepadanya.
CARA MEMILIH IKATAN UNTUK BATU PERMATA
Ada lima logam yang baik untuk ikatan batu permata yaitu, emas, perak, baja, kuningan dan tembaga. Logam tersebut berfungsi sebagai penyalur getaran, atau bila dalam dunia perlistrikan disebut Konduktor.
Fungsi kelima logam tersebut adalah :
1. Emas, lebih banyak menyalurkan getaran matahari atau api (getaran ‘Yang’/getaran maskulin).
2. Perak, lebih banyak menyalurkan getaran air dan bulan (getaran ‘Yin’/getaran feminim).
3. Baja atau baja putih, sangat kuat menyalurkan getaran bumi.
4. Kuningan, menyalurkan getaran matahari juga tetapi tidak sekuat emas.
5. Tembaga, lebih banyak menyalurkan getaran matahari berbarengan dengan getaran bumi.
Kalau anda merasa kebanyakan unsur getaran api atau ‘Yang’, pakailah ikatan dari perak. Kalau anda “dingin” pakailah ikatan dari emas untuk mengurangi ‘Yin’, begitulah Cara memilih logam yang cocok dengan anda.
Mengenai bentuk ikatannya, pada prinsipnya batu permata jangan tertutup di bagian yang menghadap ke kulit anda. Lebih baik lagi jika batu permata tersebut dapat langsung mengenai atau menyentuh kulit anda.
WARNA BATU PERMATA DAN KEGUNAANNYA
Putih, batu permata warna ini meliputi jenis Berlian putih, Kwarsa yang jernih, Mutiara putih, Akik putih yang transparan dan Kalsit. Jenis ini berkaitan dengan sumber energi di bagian kepala (embun-embun) yaitu cakra tertinggi (ketujuh). Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang positif untuk membantu menciptakan harmoni, kesembuhan dan menjaga kesehatan tubuh. Mutiara putih dan kalsit berkaitan untuk membantu menumbuhkan getaran-getaran untuk tulang, rambut, dan kuku.
Ungu, batu permata warna ini meliputi jenis Kecubung/Ametis dan Turmalin ungu. . Jenis ini masih berkaitan dengan sumber energi di bagian kepala sebagai cakra ketujuh. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang sangat membantu menumbuhkan ketenangan, mengurangi energi yang negatif, lebih banyak menghasilkan getaran feminim, dan baik untuk membantu pengembangan batin yang positif.
Biru Tua dan Indigo, batu permata warna ini meliputi jenis Safir, Turmalin, dan batu-batu yang berwarna agak biru tua atau indigo. Jenis ini berkaitan dengan cakra yang keenam yang terletak di tengah kening kepala. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang membantu menumbuhkan kebijaksanaan, mengembangkan intuisi, memperkuat mata dan telinga, memperkuat daya ingat, bahkan membantu meningkatkan kepekaan terhadap dunia halus.
Biru Muda, batu permata warna ini meliputi jenis Pirus, Akuamarin, Topas biru, Malasit biru, Kwarsa biru, dan Turmalin biru. Jenis ini berkaitan dengan cakra yang kelima yang terletak di tenggorokan. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang membantu untuk lancar berbicara dan bernyanyi, menyehatkan bagian leher, tenggorokan, pundak dan membantu manusia menjadi lebih bijaksana serta belas kasih.
Hijau, batu permata warna ini meliputi jenis Giok, Jamrut, Malasit hijau, Peridot, Turmalin, Kalsit hijau dan Mata Kucing yang hijau. Jenis ini berkaitan dengan cakra yang keempat yang terletak di daerah dada/jantung. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang membantu untuk memperkuat jantung, menumbuhkan kasih sayang, menambah kesadaran materi/kebendaan, memperkuat otot-otot syaraf dan dapat mengurangi emosi yang negatif.
Kuning, batu permata warna ini meliputi jenis Berlian kuning, Mata Kucing kuning, dan Kwarsa yang kusam. Jenis ini berkaitan dengan cakra yang ketiga yang terletak di dekat pusat/puser. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang membantu untuk menambah energi jantan/maskulin, memperkuat kemauan dan memperkuat tubuh secara umum.
Merah Jingga, batu permata warna ini meliputi semua jenis Akik terutama yang mengarah ke warna merah jingga. Jenis ini berkaitan dengan cakra yang kedua yang terletak sedikit di bawah pusat. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang membantu memperkuat daya kemampuan sex dan memperkuat daya kreatif.
Merah Jambu/Pink, batu permata warna ini meliputi jenis Kwarsa Ros, Turmalin, Garnet, dan Giok yang berwarna merah jambu. Jenis ini berkaitan juga dengan cakra yang keempat yang terletak di daerah dada/jantung. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang membantu untuk menambah kehalusan cinta, kehangatan yang damai dan positif.
Merah, batu permata warna ini meliputi jenis Mira, Jasper, dan Garnet. Jenis ini berkaitan dengan cakra yang pertama yang terletak di daerah pinggul/tempat duduk. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang menumbuhkan hawa panas, menambah tenaga tubuh karena mempengaruhi peredaran darah dan menjadikan lebih giat bekerja.
Coklat, batu permata warna ini meliputi jenis Mata Harimau, Akik, Topas coklat, Jasper, dan kwarsa yang kusam seperti berawan. Jenis ini berkaitan dengan daerah paha. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang menambah ketenangan, memperkuat kaki bagian paha dan menjadi penyalur “tenaga” ke bawah (menurut kebatinan).
Abu-Abu, batu permata warna ini meliputi jenis Akik, Mutiara yang abu-abu, Mata Kucing yang abu-abu dan Kwarsa kusam. Jenis ini berkaitan dengan bagian tengah kaki/betis. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang memperkokoh kaki, menambah ketabahan dan menjadi penyalur “tenaga” ke bumi.
Hitam, batu permata warna ini meliputi jenis Akik, Oniks, Safir Hitam/Nilam, dan semua jenis batu yang berwarna hitam kelam. Jenis ini berkaitan dengan telapak kaki. Jenis batu permata warna tersebut menghasilkan getaran yang memperkuat daya fokus (ketekunan dalam urusan duniawi), keteguhan, ketabahan kaki, menambah ketenangan dan menjadi penyalur “tenaga” ke bumi.
CATATAN
Untuk menggunakan batu permata, pemilihan warna merupakan yang utama, sedangkan Jenis dari batu permata hanyalah pembawa getaran. Dan kekuatan batu permata dalam membawa getaran berbeda-beda, perbedaan tersebut disebabkan karena komposisi bahannya (yang transparan lebih baik dari yang padat), kemurniannya, bentuknya, ukuran besar kecilnya, cara memakainya, dan jangan lupa, nasib anda sendiri !
Khasiat Mirah
KHASIAT BATU PERMATA
CARCA BATU PERMATA
MIWAH MUSTIKA (salinan lontar)
Jaga Satru, Mirah gadang meterawang kuning wiadin gadang, sarupaning paluning pande, kawisesan manusa punah, wiadin butha dengen, Kala pisaca punah denya, Dewa asih muaang Dewa pitara, Amastu Rahayu.
Duk sang Pandawa nangun tapa ring Gunung Mandara Giri, aana geni ring ajeng, marupa Manik putih, Kukus, Ngaran Suttangsu, meteja kadi damar, mangurat ijo, palanya ngaran panulak musuh sakti, muang bucari.
Mirah ireng masurya lalima kuning, ngaran Jaga Satru dahat utama.
Mirah Bang blang putih, matemahan manik maya makliyab tangi dumilah metu kukus ngaran Windu Sara. Utama dahat penolak Satru. Pangemit raga, momon.
Mirah bang makedep, katen saking ngencorot, kadi surya wawu endag, yang genahang ring jembung medaging toya ening, toya ika barak kadi rah, ika ngaran Mirah Ratna Rakta Mirah Bayu. Palanya tan katemah ring senjata, saluwiring pakaryan manusa, luwiring musuh asih, nembah, olas asih toyanya kaanggen pangelebur Mala dosa.
Mirah bang mesurya dumilah, ngaran Mirah Adi, utama dahat anggen pekemit raga miwah pakurenan.
Soca kuning, meteja kadi malah tan malah-malah tur madiyut kadi netraning kesari, metu kukus ngaran Sitangsu, sarin tanah ring genah Sang Arjuna manguntapa, anggen penolak Satru ngaran Jaga Satru.
Mirah mesinar bang, memanik maya kuning luwih utama pengrangkep, pakemit raga, jaga satru pengasih agung.
Mirah putih mekedep, cekok tuwi benjo, matoya kuning ring tengahne, tur makedep putih, diyut ipun sekadi intan, ngaran Jelijih Asli, anggen pasikepan raga, buntil ring sabuk.
Mirah gadang sekadi buah anggur, matemahan manik asiji ring tengahnya dumilah nyemprot, ngaran Mirah Mata Kucing. Dahat utama yan meteja geni maurab tur madyanglalah, ngaran Jaga Satru Utamaning Utama.
Mirah gadang, gadang nguda wiadin gadang wayah, mateja kadi tejaning damar mabiyanglalah, ika ngaran Mirah Jaga Satru Utamaning Utama. Akuweh pangraksanya. Sarupaning tampak palun pande, kawisesaning manusa, leyak, neluh nerangjana, desti, papendeman, acep-acepan, sami tan tumawuh miwah punah, luputing ala maala, selampahnya amangguh rahayu, widhi muang betara asih, palanya samangkana kejatinya.
Mirah putih matuntang biru, meteja surya, ngaran Mirah Jaga Satru, dahat mautama palanya keanggen pangimpas-impas, pengangge sane medal ring saniscara wage.
Saluwir batu campu besi, mas, perak, temaga, kuningan, timah, logamika anggen pangiid durjana.
Batu bolong, les kelor, tiying buluh empet, anggen pangimpas agung tan kasoring anusuh, astawayang ring prajapati.
Widuri wiraka sika. Soca tangi marupa dadu, mecelek tangi matutup barak, pengangge wong mebakti ring dewa.
Kecubung. Mirah dadu mecelek tangi.
Ratua rupa. Mirah putih kuning, meteja tiga, kawenang nglukat keni cetik.
Kebo sakenang (kebo kunang-kunang). Soca putih (ireng) mekeliyab putih, makedop, tan patlehteh denya macelek pada jenar, wetu geni murub, buduhang wong istri.
Bregeni. Mawak mirah bang makliyab putih, meteja tangi, wetu maandus putih, utama luwih.
Mirah Ulu (Ulung). Mirah ireng makliyab, meteja barak, masuwat serat, jatinya mautama, dewanya Bathara Siwa, Pawuni sadarana, utama kaanggen mebakti ke dewa.
Kusuma wiranata. Mirah biru meteja barak, kadi geni murub, maulat tejanya.
Manggala Grawune Ulan. Mirah putih kuning, tejanya matungtung kuning nyatur manyeleg gading. Panganggen pemangku kahyangan tiga.
Layon, putih mewarna pelung, tur matuktuk kuning mada matuktuk biru.
Nila pangkaja, mirah biru anom, rupanya mebawa bang, mesawang sada dadu, kaanggen anak maoton Budha.
Mirah bang biru parsi. Matelektek kecubung kasihan kanten, makejagat pitra nraka, kawenang manunggu swarga luwih.
Bu manda anggun, mirah abang mebawa tangi, utama kaanggen mebakti ring dewa, turun dewane sembahta.
Pada ngambu, mirah abang macelek treng.
Manjangan Bang, merah terang bertitik dadu. Mirah abang mekliyeb kuning kadi surya, yang mangkana tejanya ya twi ngaran mirah adi utama.
Ratna Maduri, mirah bang mecelek putih, druwen bethara Sambu, penganggen sang maoton Sukra.
Cempaka, mirah kuning masuwat bang.
Golo Raja Mertasanjiwani, mirah marupa cempaka pelung, masuwat putih, muwang maserat barak, matungtung kuning, majejer nguda cendana, druwen Sang Hyang Nilla Kanta, yang kena upadrawa, kena cor dening mitra, kapastu dening guru, katemah wong nista, karuwat pitranya anggon angentas, druwen bethara Siwa, witnya magenah ring mandara giri, kapingit antuk Betara Nawa Sanga.
Tataksih Samudra Sara, mirah kuning meteja putih, metu kuskus kadi ombak, utama anggen mebakti ke segara muwang dalem, ring surya palanya Grahana muang Candra kapaangan.
Yang kita manyidra ring daging soca utama, iki tengeranya, ring kandanya wilang denprayatna, poma, poma, poma. Saluwiring sane kabawos utama patut kekaryanang lelabaan, segehan bang, akepel, canang, manisan, segehan 9 tanding katur ring Bethara Sakti Tengahing Segara.
Mirah Ireng kumedep, madyut biru, masinar kuning, maurat kuning kadi kalimayah, ngaran Siwa Sekala, mirah utama panganggen sang Putus Angawerat. Palanya asih wong kabeh, astawayang ring Sang Hyang Tiga Sakti.
Mirah barak mesawang ireng, tur maburat kadi padma, putih burat ipun maketel selem, ngaran Padma Agung, utama dahat anggen gegelaran ring pakurenan pengelebur mala, Widhi asih.
Mirah ireng kumedep biru mesawang gadang dumilah, tur matemahan manik maya, kuning, ika mirah utama, pelinggih Ida Siwa Tiga, anggen gegelaran rang Raga, Dewa Asih, nangin arang Mirah Ika.
Mirah cempaka wilis, maurat kadi rambut, ngaran Mirah rambut Sedana, utama dahat, wenang anggen pengasih, miwah pangastawa ring Ida Ayu Swabawa ring Kahyangan Melanting, sane sampun kawuswus ring saudagar ageng miwah alit, patut kasungkemin antuk para dagang sami.
Mirah Ijo Manten, pirus, zambrud, sapir biru, wenang kaanggen ring sane medal dina Sukra pon.
Mirah Ireng Maening kumedep, tan pata leteh, masurya kadi surya wawu endag, mabyanglalah, makukus kadi tejan damar, ngaran Kresnadana.
Mirah kadi batun delima, mawarna putih, bang nguda, ijo kuning, ireng, biru, ungu, wiyadin alit miwah cekak-cekok, ika tuwi sarin tanah, sarin toya, sarin sinar, ika mardugama jati merangkap.
Mirah ireng makedep, madyut putih miwah kuning, kadi sang ketatur madaging urat leser kuning, metu teja ijo muwang biru, masinar kadi namu-namu, metu geni ngaran Pharta Wijaya. Utama dahat kaanggen anak Agung.
Mirah Winda Sara, sarin tanah genah sang Bima mayoga, anggen pengijeng pekarangan, penolak musuh sakti. Warnanya abang mebawa tangi, mateja geni murub dumilah, sinar surya, mirah masurya kembar, surya candra ngaran sarin tanah ring genah sang Nakula mangun tapa. Utama anggen ngastwa ring Bethara Tiga Sakti.
Mirah bang macelek putih matemahan Manik Maya ngaran Ratna Dwitya, penganggen anak istri.
Mirah marupa kadi getih, dumilah tan matah-matah, metu kukus matemahan manik maya maran <s
Olih : lontar adhygita
Jumat, 07 Maret 2014
Wirit maklumat jati
WIRIT MAKLUMAT JATI
“Wedharing Ilmu Kabatosan”
Di dalam kepustakaan Jawa, dikenal kitab kuno, yakni kitab Primbon Atassadhur Adammakna, merupakan salah satu kitab terpenting dalam ajaran Kejawen. Di dalamnya memuat ajaran-ajaran utamanya yakni Wirid Maklumat Jati di mana mencakup delapan wiridan sebagai berikut ;
1. Wirayat-Jati; ajaran yang mengungkap rahasia dan hakikatnya ilmu kasampurnan. Ilmu “pangracutan” sebagaimana yang ditempuh oleh Sinuhun Kanjeng Sultan Agung merupakan bentuk “laku” untuk menggapai ilmu kasampurnan ini.
2. Laksita-Jati; ajaran tentang langkah-langkah panglebur raga, agar supaya orang yang meninggal dunia, raganya dapat melebur ke dalam jiwa (warangka manjing curiga). Kamuksan, mokswa, atau mosca, yakni mati secara sempurna, raga hilang bersama sukma, yang lazim dilakukan para leluhur zaman dahulu merupakan wujud warangka manjing curiga.
3. Panunggal-Jati; ajaran tentang hakikat Tuhan dan manusia mahluk ciptaanNya. Atau hakikat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Meretas hakekat ajaran tentang “manunggaling kawula lan Gusti” atau “jumbuhing kawula-Gusti”. Panunggal-Jati berbeda dengan Aji Panunggal. Aji Panunggal membeberkan ke-ada-an jati diri manusia, yang meliputi adanya pancaindera. Aji Panunggal juga mengajarkan tata cara atau teknik untuk melakukan semedi/maladihening/mesu budi/yoga sebagai upaya jiwa dalam rangka menundukkan raga.
4. Karana-Jati; ajaran tentang hakikat dan asal muasalnya manusia, ajaran ini sebagai cikal bakal ilmu “sangkan-paraning dumadi”. Siapakah sejatinya manusia. Hendaknya apa yang dilakukan manusia. Akan kemana kah selanjutnya manusia.
5. Purba Jati; ajaran tentang hakikat Dzat, ke-Ada-an Dzat yang sejati. Menjawab pertanyaan,”Tuhan ada di mana ? Dan membeberkan ilmu tentang sejatinya Tuhan. Seyogyanya Purba Jati dibaca oleh pembaca yang budiman dan bijaksana, dan bagi yang telah mencapai tingkatan pemahaman tasawuf agar supaya tidak terjadi kekeliruan pemahaman.
6. Saloka-Jati; ilmu tentang perlambang, sanepan, kiasan yang merupakan pengejawantahan dari bahasa alam, yang tidak lain adalah bahasa Tuhan. Supaya manusia menjadi lebih bijaksana dan mampu nggayuh kawicaksananing Gusti; mampu membaca dan memaknai bahasa (kehendak) Tuhan. Sebagai petunjuk dasar bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan.
7. Sasmita-Jati; ilmu yang mengajarkan ketajaman batin manusia supaya mengetahui kapan “datangnya janji” akan tiba. Semua manusia akan mati, tetapi tak pernah tahu kapan akan meninggal dunia. Sasmita Jati mengungkap tanda-tanda sebelum seseorang meninggal dunia. Tanda-tanda yang dapat dibaca apabila kurang tiga tahun hingga sehari seseorang akan meninggal dunia. Dan bagaimana manusia mempersiapkan diri untuk menyongsong hari kematiannya.
8. Wasana-Jati; ilmu yang menggambarkan apa yang terjadi pada waktu detik-detik terakhir seseorang meninggal dunia, dan apa yang terjadi dengan sukma atau ruh sesudah seseorang itu meninggal dunia.
Tulisan di atas hanya bersifat pengenalan awal dan pemetaan secara global tentang referensi atau buku-buku khasanah ilmu Jawa. Pada kesempatan selanjutnya, Sabdalangit Insya Allah akan berusaha memaparkan masing-masing ilmu kajaten (Wirit Maklumat Jati) di atas. Mudah-mudahan pemaparan ini dapat memberikan arti dan manfaat untuk seluruh pembaca blog ini, sekalipun hanya sedikit.
Kamis, 27 Februari 2014
Putru Saji Tarpana
IKI KRAMANING PUTRU SAJI TARPANA
Wnang uncarakna ritatkalaning ngaskara Sanghyang Pirata, lwirnya:
yan karya ngaben, benjang palêbon ngadaslêmah, uncarakna;
yaning makirim, yadyan ring pangrorasan.
Irika mangda sinarêngan ring Ida Sang Pandita.
Samangkana kramaning amitra yadnya, yan sira aniti krama.
Kayeki ucapanya, panguncar wakyanya:
Uduh kaki-kaki sang inangaskara kabeh, aja sira papeka, iki ana tutur mami ring kita mne, poma kengêtakna kita kabeh.
Yan hana pangguhta alas agung ring awan, sinaputan dening udan raja, aricik-ricik aworing paptêng, mandêgta kita ikana. Samburakna tang wija catur warna, apan kamulanekang sarwa kunapa, paranta polahira amton ikang sarwa kunapa, paran polahira amton ikang wong salah wtu. Iku amêkon denta asaputan udan raja, aricik-ricik aworing paptêng. Apan aku wruh ring ika sarwa tumuwuh ring kene. Pandan wong arêping awan agung, dukut tan hana ngalapi. Lumaku ta kita sang kunapa, iki tadah sajinira: sga sagulung, jajatah, calon, ktupang, brabas, ayung-ayung, balung gagênding, dengdeng ati, alir-aliran, bawang, jahe, uyah, trasi bang. Uduh ta kita trêna taru lata gulma, talun maha jalma, sakweha kita tumuwuh ring pratiwi, iki tadah sajinira. Mangke wehênta kami dalan apadang apan kita padana klesaning wong mati, kari ring panglatan ring madya pada, mangke wehênta atman ingsun umêntasa. Poma (3x).
Mwah hana watu wulung, amapêt ring awan agung, awanungsung dening wong mati, tka ring dalan ring madyapada, kari ring panglatan, lwanga padang pisah sang wadokalan, lah lumakwakna sang inangaskara, denaglis kita sanghyang umêntasa. Poma (3x).
Malih kita sang nila paksi, aja kita angadang-adang atmaning sang inangaskara ring awan agung, iki tadah sajinira: daging mêntah denagnêp, apan ingsun wruh ring kita, kita panadyaning irênging kukun ingsun kanan kiri, mangke wehakna atmaning sang inangaskara umêntasa. Poma (3x).
Uduh kaki sang inangaskara akehnya kabeh, aja kita papeka, yeka hana singalung, maswar cêngeng-cêngeng, iki maka sajinira: pitik roro, tinalinan dening lawe apan ingsun wruh ring kita, kita panadyaning sukun ingsun ikang bangaputih, mangke wehakna atmaning sang inangaskara umêntasa. Poma (3x).
Uduh kaki sang inangaskara kabeh, aja sira papeka, yan kita nmu munggah jurang sêngka, gigiring sêmpit, jurang kidul agung pada, m: Oý gigiring sêngka yoni dadi widya dara, yoni dadi widya dari, ya ika dewataning alas, dadi umahing tirta murtining sasangon, marupa darma ring najahanawawiring, waluya jatiningira sanghyang atma. Poma (3x).
Ih kita sang inangaskara kabeh, iki nggonên kulambin ingsun anta kusuma astana arawe-rawe, lawan atêtêkên ring margi agung. Yan hana sêmut sagodel agungnya tka angosngosan akasatan, arêpnya nawut atman sang inangaskara, iki samburakna, wija catur warna, apan sira panadyaning rudiraningsun, duknya ring madyapada.
Mwah ta kita sang inangaskara kabeh, mne datêng ta kita ring banjaran santun, amangguh ta kita skar ganggong, samburana wija catur warna, apan sira panadyaning idêp ingsun ika.
Mwah hana wong arêp suka kurang brata, kurang lwih ika manahnya, hana mangan tanpa bantên, akweh den sêngguhnya dewa, duknya paraning laku, lêmêhing bhuta raksasa, kapanjingan sampi raja, asu gamblong atêndas yaksa, manak gumanak ing kana, rare bajang tan karwan akwehnya, wumampêl-ampêl sukunya, iku samburakna wija catur warna. Uduh kaki sampi raja, iki tadah sajinira: rwaning dapdap tis, apan kita panadyaning watis ingsun kiwa têngên.
Mwah hana asu gamblong atêndas raksasa, manak gumanak ingkana, iki tadah sajinira: sga sagulung, mabe jajatah, calon, balung gagênding, apan kita panadyaning pupun ingsun kalih.
Mwah hana rare bajang tan ketung kwehnya, mahawak itik bulu lêki, iki tadah sajinira: dêdêk lawan sga sagulung, jajatah, calon, ktupang, brabas, ayung-ayung, aja sira ngandêg lakunira sanghyang atma, lah umêntasa kita sanghyang atma.
Mwah hana kbo raja ring awan agung, acakar-cakar angêmpos-êmpos, arêp anyenggot sang inangaskara, semburana wija catur warna, apan sira panadyaning widyadari kna sapa ika.
Mwah ring têngah ikang wêk sida malung, anyakar-nyakar, anyokot-nyokot, arêpnya anyawut atmaning sang inangaskara, samburana wija catur warna, iki tadah sajinira: dêdêk lawan sga sagulung, jajatah, calon, ktupang, brabas, ayung-ayung, apan sira panadyaning ungsilan ingsun.
Mwah hana tunggak tanpa maya, undung-undung tanpa gumi, tusning sêgara tanpa têpi, tusning galihing kangkung, tusning uluh bumbang, tusning tampak kuntul anglayang, tusning lotar tanpa surat, iku isining limbik umurêb, kewala nggang lakoni sang inangaskara, anungkapakên tka ring swarga loka, ngaran ri banjar pasundêlan, aworing pakrisan, agung gawene apahesan, mrêbuk arum gandaning wanginya, agubêlan arêpe. Aja sira papeka, mandêg ta kita ing kana, irika wehakna kêmbang wangi mwang lênga wangi, swang-swang denya akweh.
Uduh nini sang wadokala, paran sangkane kita mantara, amtoning lakuningsun sanghyang atma, apan ingsun sanake kita, anungkapakên watu ugal-agil, ngambah wetan gênjor kulon, ngambah kulon gênjor wetan, kemêngan sanghyang atma durung limpas, samburakna wija catur warna, apan sira panadyaning bawun ingsun kiwa têngên.
Mwah sanghyang atma anungkap ring banjaran skar, umung swaraning brêmara angisêp sarining santun, mrêbuk arum sarining skar wangi gandanya, kunang amapagin sanghyang atma, hana duratmaka ingkana, katmu denira mangan salah pangan, jmur ikang brêmara angisêp sarining sêkar, pada tan hana molih katrêsnaning sarwa sari kramanya, hana umasuk ring banjaran skar. Aja kita munggêl papasangira batara Yama. Poma (3x).
Mwah kita sanghyang atma, rikala nungkap titi gonggang, awingkoting pring sasigar, samburakna wija catur warna, apan sira panadyaning baga purus ingsun.
Mwah ta kita sanghyang atma, yan nungkap ring êndut blaganda, paran ta gawenira mareng kene, ingsun anungsung sanghyang atma, paranta ingsun sinungsung, apan ingsun wruh ring kamulane dadi kita, kita panadyaning campah sukunku kalih.
Mwah ta kita sanghyang atma, yan sira nungkap ring lawang sila matakêp, mwang ring babahan wsi, manjing melemundali, tan wun matangkêb olih lawang wsi, gigir warnanya mangancorong, samburana wija catur warna, ika ngaran kamulanira. Uduh kaki sang wadokala, paran polahira mangêtoning wong salah wtu iku, apan kita panadyaning wêhang ingsun ring sor ika.
Mwah kita sanghyang atma lumaku kita, katmu ta sang lêmbu mlêtuk. Paran ta gawenira maring kene, ingsun anungsung kita sanghyang atma, paran dera kita anungsungeng kami, duk kita tka banyu panglipur, ingsun wruh ring kadadyane kita, widuningsun panadyane kita iki.
Mwah hana sumur bandung katmu denira sanghyang atma, ring marga agung, paran ta gawenira mara ing kene, ingsun anungsung sanghyang atma, paran dera kita anungsungeng kami, apan kami wruha ring panadyane kita. Kita panadyaning leng irung ingsun kalih.
Mwah ta kita sanghyang atma, anungkapakna, katmu ta sireng banyu jro alindungan, paran ta gawenira mara ing kene, apan ingsun wruha ring panadyane kita, kita panadyaning swedan ingsun.
Mwah ta kita sanghyang atma, anungkapakên ring têgal pênangsaran, hana katmu denta kayu curiga, paranta gawenira maring kene, apan kita panadyaning jarijin ingsun kiwa têngên.
Mwah ta kita sanghyang atma, anungkapakên ring marga agung, katmu kita ring watu ugal-agil, paran ta gawenira mareng kene, apan kita panadyaning ilat ingsun iki.
Mwah ta kita sanghyang atma, anungkapakên ring bale lulut, paran ta gawenira mareng kene, apan kita panadyaning bahêm ingsun.
Mwah duk kita kari ring banyu panglipur, adyus akramas ta kita ring sanghyang Yama, marupa juti pwa kita, waluya jati, umêntasa kita ring swarga linggar manah, mangke lumarisa kita maring marga sanga, anyaluk ta sira ring lawangira sang dorakala, Ah ingsun anyaluk lawang mangke, paran gatiningsun kamêngani lawang de sang dorakala, apan kami wruha ring sang angawe lawang sang dorakala, syapa ngawe lawang ika, bapa siwa oýkara ngawe lawang ika, mêngê ikang guwa ika, apan kami wruh ring sanghyang guwa bhara, sang dorakala aranira yukti. Mangke umêntasa sanghyang atma denaglis.
Mwah wruh ta sira sang cikra bala utpata sira. Uduh ta kita sanghyang atma, paranta sangkane kita sanghyang atma, anane mnga lawang iki, ring reh nora karyanteku sanghyang atma iki, ah arêp age sanghyang atma mangke, ih sang cikrabala, paranta karyanta ingkene, ingong anungsung kita sanghyang atma, paran dera anungsung maring kami, sang cikrabala utpata sira, apan ingsun wruha ring kita, iki kita panadyaning sabdaningong. Mangke kacêta kawangsula kita, lah umêntasa kita sanghyang atma. Mangke datêng tka sanghyang atma ring lungguhira bhatara Yama diraja, masabda hyang Kingkara dipati, Ih,ih,oh,oh, atma paran kita prapta ngke, sakeng ndi sangkane kamung sanghyang atma. Uduh singgih sadnya paduka bhatara, pukulun sanghyang Yama, ingsun atmaning wong kasihan, mwah ingsun huwus wruha ring tmahanta bhatara Yama, sakeng waktran ingsun kita. Kunang ikang kawah tmahan ika, kadadyaning wtêng ingsun iki, Sumahur sanghyang Yama, Ih wruha pwa kita sanghyang atma, limpading pangêwruh pwa kita, ndak linêbokakna kita maring kawah. Sumahur sanghyang atma, Uduh kitang Yama, ingsun linêbokang kawah, ndah kita juga ingsun lineboking kawah. Mangke ingsun mangaji mantra, Oý alicik-licik sang lêngên gêde, bata gêde sarimbag, linêbokakna ring samudra, mur bdah ikang kawah ika. Sumahur sanghyang Yama, Uduh kita sanghyang atma, sakti tmên pwa kita, lah ya inaturakna ring hyang Sinuhun. Atur sanghyang Yama, Singgih pukulun hyang Sinuhun, uningan paduka hyang mami, wentên atmaning sang pandita, linêbokeng kawah deninghulun, moga bdah ikang kawah denya saksana. Ling hyang Guru, Kita Yama, age takonakna ikang atma, duga duwêg amrêlina, yapwan ngawtuakên bisa juga ya, denamwah kadyang lagi. Ndan nuhuna sadnyanirang Yama, matakwaneng mwah amriksa. Ling sanghyang Yama, Uduh kita sanghyang atma, wruh kita mutul ikang kawah sida musna, yapwan kita ngawêtwang mwah kayeng lagi, wruha kapwa kita, yapwan sanghyang atma wruh metel ikang kawah, nora duga dwêg ngawêtwang mwah, nghulun ya mangawêtwang kawah ira ika. Ih kita sanghyang atma, sadnyanira bhatara hyang Guru, umarêka kita ri pada pangkajanira, denaglis kita lumakwa umêntas sampurna padang. Lumakwa sanghyang atma. Tka parêk ring bhatara hyang Siwa guru. Lingira, Uduh kita sanghyang pitara kabeh, mangke kengêtakna pasmadan mami ring kita kabeh. Apan kita huwus datêng sida sampurna ring sanmukan ingsun mangke, denadira sura roteng sila sasana agama, krêta simaning loka, bakti ring sarwaning hyang, tan aceda ring widi sastra agama, den mituhu ring sadnyan sang brahmana pandita, dwêg ring darmaning kosala, nguni duk aneng stiti ring bumi pancara karma, mangke ri tkaning mulih ta sanghyang atma kabeh, aninggalakên kama sariraning manusa pada, molih ta kita dalan apadang, tan hana bêncaneng laku, ring prasanakta duk dadinta kabeh, pada suka anuduhing marga bênêr. Sadya pwa kita molih lungguh ing swarga loka.
Mwah ta kita sanghyang atma, aku madana saji upakara inastuti dening puja mantranira sang brahmana pandita, ika dahating rangkêp kasadyaning lakunta sanghyang atma, antar aglis kita tka ring paraning kapti. Apan ikang atma, yatanyan maguna widya sastra, mwang darma kosala, kalanya stityeng pancara bumi, yapwan tan inangaskara dening panca pitropacara, kadyeki saranta lakunya, tan sida katmu swarga aglis, panjang srantanya ring amêng-amêng, pangadang-adang ring marga agung.
Uduh kita sanghyang pitara kabeh, make kita huwus krêta lugraha alungguh ring swarga loka, denalanggêng kita, nunggil ring para dewata, ring swarga siwaloka, tan aglis mantuk ing madya pada, yan tan hana bwating lungguh, makadi sang brahmana rajarsi, ksatrya prabu, pangreh praja mandala, byuh asisya, byuh wadwa, kala samangkana ta kita wnang tumuruneng madya pada. Mwah sang kari ring marca pada, makadi tunggakan sanghyang pitara kabeh, moga-moga anmu kawrêdyaning maurip. Tan kuranging catur boga, tan dahat katibaning sêngara baya, sakeng sanghyang pitara kabeh apan sira huwus anglarakên panca pitropacara.
Samangkana sadnyanira bhatara hyang Guru, maweh stana ring sanghyang pitara kabeh. Umatur sanghyang pitara, Pukulun hyang Sinuhun, atur nghulun pitara kabeh, apan akêdik atur sajin hulun, mantuk ring para dewata kabeh. Pitara samudaya, denaksamakna denira, para dewata kabeh, mangke sahananing saji-saji iki, inaturakên ring padaning hyang Sinuhun. Poma (3x). Lingira hyang Sinuhun, Uduh sanghyang pitara kabeh, denaglis kita munggah swarga, iki siwa loka, apan kita wnang rumaksa kabeh, apan kita tuhu wus kahêntas denira sang siwa yogiswara, denatusta kita pada munggah ring suralaya bwana, aja ta sang dewa pitara simpang-simpang maring ranaknya ring nraka loka. Poma (3x).
Mwah atur bhatara Yama, marêk ring hyang Sinuhun, linhira, Singgih pukulun hyang Sinuhun, risampunya sanghyang pitara pada polih lungguh, mangke nugrahakna ican pukulun ring pari tusning sêntananira kabeh, mangda mangguh kawrêdyaning mahurip, kadirgayusaning mahurip, pêngpêng ring catur boga. Poma (3x).
Oý ayu wrêdi yasa wrêdi, wrêdi pradnya suka sriya, darma santana wrêdisca, santute sapta wrêdaya.
Têlas.
UPAKARAN PUTRU
Suci asoroh, daksina gde, 1, saji asoroh, psewan,
têbasan sida karya, pras lis, canang pangalang.
Iki mantra pangsêngan pras : Oý yaý mrêta guna sastra suda ya namah swaha.
Iki mantra pangsêngan sasantun : Oý aý maý siwa yogi prama sidya÷ suda ya namah swaha.
Naskah ini dikumpulkan oleh: I Wayan Sutedja, Buruan, Penebel, Tabanan
Tutur Brahma Pandya Tatwa
Pangaksamaning hulun ring pada yang mami, sang ginlaring sarining om kara ratna mantram. Sunialayam. Sida yogi swaranam, sira anugraha, awaka purwanira sang huwus lêpas, luput ta mami ring tulah pamidi, mwang sawigrahaning papa ptaka, tan katamanan upadrawang hyang mami, wastu paripurna nêmuakên ayu, dirga yusa têkeng kula gotra sêntana, namastu jagadita ya.
Iki Tutur Brahma Pandya Tatwa.
Sira Batara Hyang Widi, mayoga pwa sira, mrêdyakna putra utameng jagat, sida sakama-kama:
1. Batara Iswara,
2. Batara Brahma,
3. Batara Mahadewa,
4. Batara Wisnu,
5. Batara Siwa,
6. Tan wasitakna sira Batara Hyang kabeh.
Tucapa mangke Batara Brahma Jagatpati, maputra limang sanak, wiku sakti mangunakên tapa, byakteng tkaning aranira: (1). pinih wrêda Empu Gnijaya, (2). Empu Kapakisan, (3). Empu Bang Sidimantra, (4). Empu Kulputih, (5). Empu Wiradarma.
Empu Wiradarma maputra kalih siki: (1). panua Empu Lampita, (2). arine Empu Adnyana.
Empu Adnyana maputra kalih siki: (1). panua Empu Lampita, (2). kang ari Empu Pananda.
Empu Pananda maputra, Empu Wijaksara.
Empu Wijaksara maputra kalih siki: (1). panua Empu Ktek, (2). Empu Lalumbang, asrama woyeng Tumapêl, kang abiseka sira Empu Gandring.
Brahma putram mahayanam, sila sayanam maha yogam. Wasitakna Batara Brahma, sira angwangun tapa, ring pucaking sila sayana, amrêdyakna putra utameng buana kabehan, tan katakna, munggah sira Sang Hyang ring luwuring sila mrêta, macatur buja, matrisandya pwa sira Sang Hyang, anglarana brata yoga samadi, mêtu kang apui saking angganira, murub ikang gni, luir Brahma murtyeng sarat, tumiba ring talaga noja, murub ikang gni.
Ri tlas dilah Sang Hyang Apui, manca tirta suksmanam, gangga ranu nirmalam, matêmahan tirta suksmanira Sang Hyang Apui, tan pendah Gangga, Sindu, Saraswati, Yamuna, Narmada. Samangkana têmahanira Sang Hyang Agni. Muah pinrastita de Paduhka Batara, matêmahan wong rare. Tan pendah lare ika, Sang Hyang Kumara nurageng buana kabeh, mijil saking têlênging we. Manangis pwa wang rare, ri denia tan wruh ring bapebu. Yekacit hana teja kara-kara, ring padmasana manik, umatur wang rare ring paduhka Batara, lingnira, "Pukulun Sang Hyangning Suksma, patik Batara, aminta sadmata ring paduhka Batara. Patik tan wruh ring bapebu, sang apa wnang angawasa hulun". "Brahmaja catur bujah, aji kamatantram maha sutah. Duh anaku kamung rare, hulun Sang Hyang Prajapati, pinaka ramaniu". Umatur pwa wang rare, sadara wotsari, lingnira, "Sêmbahning hulun ring pada dwaya Sang Hyang Pitamaha, sang bapa wênang angwasakna pramananing hulun, pan kari rare, aweha hulun anugraha, lamakane hulun amangguh tatwaning numadi manusa, apan akweh tang sarwa yoni manadi".
Tan tapa, tan bratam. "Duh anak mami, tuhu kadi lingta ring kami, tan saka ring tapa kita mwah, kadi saktingku kasaktinta, tambening mangke kita ngaran Empu Brahmaraja". Mangkana wakyanira Sang Hyang Brahma, sumahur kang lare, lingnira, "Duh kamung sang Hyang, de punapa de ranak paduhka Batara anglarana asta lingga, pinaka pangupa jiwaning akirtia ayu woyeng jagat". Sumahur Batara lingnira, "Kamung lare, anakku kita Empu Brahmaraja, iki hana panugrahanku ring kita, karya dwi laba, ngaran, lwirnian, angandring, amande galuh.
Angandring, ngaran, akarya sarwa landep.
Amande galuh, ngaran, akarya mas pirak, pinaka busananing wiku, mwang busanana satrya mabiseka ratu.
Mwah hana pawarahku ri kita, yan kita kala ngaduh, kapandyan ta woyeng jagat, ayua ninggalana darma krya ring sariranta. Nguni ring ngasitkala, anakira Empu Pananda, sira Empu Lalumbang, sira awisaya angandring, tan anglaranang catur darma, kinwan akarya lalandep de Ken Arok, tan tutug puput ikang kêris, sinuduk pwa sira de Ken Arok. Nimitaning kita mangke lêkasana tikang catur darma woyeng sarira, mangkana darmaning angaduh aji kapandyan". Mangkana pawarahira Sang Hyang Brahma ring sira, Rajabrahmana.
Tan tucapa mangke Empu Brahmaraja ring patapanira, kwarna mangke sira Patih Madu woyeng bumi Madura, kinwan angwangun punang yadnya, lwirnia mitra yadnya, buta yadnya, de Sri Aji Wilatikta, abiseka Sri Hayam Wuruk. Kangelan sira Kryan Patih ngulati wiku sakti, kadi saktining Enpu Lagawe. Kadacit hana wrêta karênga dening Rakryan Madu, êmpu sakti mangên-angên tapa woyeng Gunung Hyang, kulwaning desa Madura. Lunga pwa Rakryan Madu umundanga sang maha êmpu. Tan wiabicara lumampah pwa Rakryan Patih Madu maring Gunung Hyang, kapangguh sira Empu Rajabrahmana, sêdêng alunggueng payasanira. Sadatêngnira ring baturing asrama, manêmbah pwa sira ring sang êmpu. Wusnira manêmbah, atangi pwa sira sadara alon, parek ring padanira sang êmpu. Mojar pwa sang empu, lingnira, "Duh Rakryan Madu, saka têmbea kyai datêng ring asrama ing kene, tan pendah kadi siniraming tirta pawitra twase ramaniu, sadatenge sira mara ngke. Apa hana prayojananta tka, warahên duga-duga ring kami brahmana". Mangkana lingira Empu Brahmaraja, sumahur sira rakryan patih, sadu wacana ring sang maha êmpu, "Singgih sang maha êmpu, patik sang yatiwara, luir wruhing Brahma loka, patik sang pangêmpuan, tan rênga subawania sang maha êmpu. Hilang lapa, wlêkang patik sang maha muni tumon sucianing asrama. Ring mangke hulun amundang sang êmpu, kapalaning yadnyaning anak sang êmpu, mahyun hulun amitra yadnya. Kenakana hyun sang êmpu lunga ring Madura". Mangkana ature Patih Madu ring sang maha êmpu. Mojar sang êmpu, lingnira, "Duh Aum rakryana patih, tan wihang ramaniu, datêngeng Madura, amrêstiakna kawitaniu, apan wênang kadi kami brahmana". Tan wiabicara, lumampah sang rwa umungsi nagareng Madura, kadacit, datêng ring umahe Kyai Madu. Tan warnan mangke sira Empu Rajabrahmana, tucapa sirang tamui saking dura desa, samuha, sampun prapteng Madura, lwirnia nikang tamui, Blambangan, Pasuruan, Sambawa, Palembang, Sunda, muang sapasuking Yawadwipa, tan adoh Sri Aji Bali, sira Dalêm Ketut Ngulêsir, abiseka Dalêm Kapakisan. Tan pendah Manobawa ngutpti ri sira sang nata sireng Bali. Kascaryan kang tamui tumon karasmianira Sri Smara Kapakisan. Ikang tamui sampun pada angungsi lungguhnia sowang-sowang, pada inaturan panyambrahma, boga upaboga, we, saha sêdah.
Tan tucapa mangke nikang tamui, kwarna mangke, sajining yadnya sampun cumadang, lwirnia, êmpêhan, minyak, madu, dupa, dipa, mwang tirta sampun ring kumba, mwang wuti sampun kinulilingan. Tan wiabicara, munggah sira Empu Brahmaraja ring pahoman, srêgêp busananing kapanditan, abawa, agênitri, mwang asamayut, asalimpêt, tan pendah Rêsi Srêngga, makapala yadnyanira prabu Ikswaku kanguni, duking Utara Kanda carita. Sagrêhan ikang tamui tumonton sang rêsi amuja. Ring puputing amuja, sinengan sira Patih Madu de sang maha êmpu, lingnira, "Duh rakryana patih, kami brahmananta sampun puput amuja punang kawitanta, maka sêdanang sang catur weda. Ring mangke cihnakna karyaniu, sidania lawan tan sida", mangkana lingning Empu Rajabrahmana. Sunahur Rakryan Madu tan hana panjang, "Duh sang empu, apa luirning wang tinanyankwi". Sumahur sang êmpu saking payogan, "Duh rakryan patih, sahananing hana ring arêpaning hulun kabeh. Irika ngadêg sirang Madu, tinanyan punang layang-layang, Sida swasta karyanku". Sumahur tang layang-layang kabeh, ling nikang layang-layang, "Inggih gusti Madu, sida karyan igusti, mwang swasta manggih swarga ikang kawitan sadaya". Watu tinanyan denirang patih, watu mojar samangkana. Taru tinanyan, taru mojarakên karyania sida. Suka girang Rakryan Patih Madu ri swastaning kawitanira. Irika kascaryanikang tamui kabeh tumon kawikanan Empu Brahmaraja, pada amuji-muji kotamanira Empu Brahmaraja. Têmbening samangkana, sira abiseka mangke Bagawan Pandya Empu Bumi Sakti. Tan pendah brahma mantra, wtu saking tutukira sang Empu Pandya Bumi Sakti.
Tan wasitakna sira Patih Madu, tucapa sira bagawan kapandyan, Empu Raja Bumi Sakti. Sampun inaturan punia, lunga pwa sira ring sunia desi, ring pinggiring sêma sana, dadia hana gopala sêdêng amaluku, nangis kasiasih, tininggaling ramania, apan tikêl wuntuning wulukunnia, makêdal-kêdal pwa sira manangis. Matakwan pwa sira sang êmpu, lingnira, "Duh kamung gopala, kasihan hulun tumon ko lara manangis. Apa marmaniu makusah rikang lêmah, warahên duga-duga ring kami brahmana". Umatur ikang gopala kasambilnia manangis, "Duh sang pangêmpuan, untuning wulukun mami tikêl, manuju sila tala. Yan tka ramaning hulun, byakta agung runtikira ring anak sang pangêmpuan". Sumahur sang êmpu, lingnira, "Duh kamung gopala, ayua sangsaya, hulun mahayu wulukunta, lamakane sida karyaniu". Mangkana ling nirang êmpu, umatur sirang gopala, "Duh sang maha êmpu, iki wulukun patik sang êmpu karyanana". Tinarima den Empu Bimi Sakti. Tan wiabicara, mayoga bagawan pandya, mantra wikrama mengêt pwa sira ring kabrahmangsanira, mwah atutur pwa sang rêsi, ri pawêkas Sang Hyang Datra uni. Ring puputing yoga, mijil tang gni saking netra têngên, tumiba ring arêpanira, irung kiwa pinaka pangêmbusanira, irung têngên paniupaning bayu, manjingeng angga sang biksuka, tangan têngên pinaka palunira, pupu kiwa pinaka landêsanira, jarining tangan pinaka supitnira, swedaning muka pinaka banyuning palunganira. Puput tang saraja karyanira sang maha empu, tucapa pwa sang Empu Bumi Sakti, umahas ring pinggiring sêma sana. Kadacit datêng ring aksobya asrama, sêdêng sang sadaka maberawa, mamuja ngranasika , umaradana Sang Hyang Amogasidi. Kascaryan sira Empu Bumi Sakti ring busananira sang sadaka mangastawa, aswamba, asalimpêt usus agung, asêkar dening wrêdaya, akawaca mong carma. Mangkana tingkahning Dang Hyang Astapaka ngastawa padanira Sang Hyang Bajra Adnyana. Wusnira amuja, tiningalan tang pandita tamui angadêg ring sorning salali wrêksa, inaweh pwa sang wau prapta de Sang Astapaka. Umara pwa Sang Bumi Sakti sadara alon. Tinakwanan sira saha puja weda ring atiti, lingnira, "Duh Aum brahmana sulaksana, wau prapta, saking êndi pwa sang rêsi suda cara mara ngke, tan pendah wakpati pwa sira, pinaka gunaning dewata surapsara kaidêpaning hulun. Manawa palaning yadnyaku sang pangêmpuan datêngeng asrama ing kene. Warahên duga-duga ring kami Brahmana Astapaka". Mangkana ling Dang Hyang Buda ring sang wau prapta. Umatur sira sang wau datêng asmita arum amanis, luir manggis tanêm ing gula drawa, lingnira, "Singgih sang pangêmpuan, Bagawan Anggira, yan ring kawahmin wênang mratista mala ptakaning wang kabeh. Anak sang yati, saking sila sayana, anak sang Datra pwang hulun, apanêngêran Empu Bumi Sakti. Maka hetu ranak sang rêsi datêng pwa ngke, kinwan ranak sang êmpu aguru susrusa ring pada sang pangêmpuan". Mangkana atur nirang Empu Raja Brahma. Sumahur Dang Hyang Astapaka, lingnira, "Duh Aum anak mami, bagia manta yan mangkana. Yan tuhu anak mami, brahma putra, maka ngaran bagawan Empu Bumi Sakti, kami Astapakaniu amriksa katatwaning kapandyanta. Anaku bagawan Pandya Bumi Sakti, êndi wijiling apui, maka sadanang sarwa karyaniu, êndi unggwaning pangêmbusanta, apa jatining palunta ring sarira, êndi landêsanta, warahên duga-duga suksmaning kapandyanta". Umtur sira Empu Bumi Sakti, lingnira, "Singgih sang pangêmpuan, tabe ranak sang maha yati, amrêsnakna patanya sang yati wara, mangguh ta pwa sira dang hyang yati wara". Tan wiabicara, mayoga pwa sang êmpu, mangeka cita. Mtu tang gni ring sarira, saking netra têngên, kadi bayu bajra wtuning angin saking irung kalih. Angrêdana pwa Batara Daneswara, cet datêng pwa batara saking awang-awang, winêh pwa Empu Brahma Pandya, kanaka rajata. Pinrêstita denira, mamuja midêr ping tiga, tan wiabicara, matêmahan busananing pandita Astakapa rajata kanaka. Mojar sang Astapaka arum amanis, "Duh anaku Empu Bumi Sakti, wruh ramaniu ring kotamaning kapandyanta. Mangke ramanta amlaku asih lawan kita, ri denia hulun inasraya. Iki hana anaking hulun, stri, ngaran Dyah Mrêtatma, kita wnang maka dampati swari, lamakane ramaniu sida mulihing swarga loka. Anak mami wnang nyupata hulun, mangke, yan tan samangkana, sangsaya kami ring têkaning pati, apan hana karênga ring asta dasa carita, sira Bagawan Warabrata, gurunira Sang Jaratkaru. Pêjah pwa sirang Rêsi Warabrata, ginantung ring tungtunging pêtung, nungsang pwa sukunira, tang pêtung sinigiting tikus, tiba nglabuh ing jurang. Mangkana tatwaning sang mati, tan hana putraka". Mangkana pawisikira Dang Hyang Bajrasatwa, sumahur Bagawan Pandya lingnira, "Sri Bajra Adnya sunia tah, tan langgyanam êmpu putrah. Duh singgih sang pangêmpuan, tan pendah Sang Hyang Ratnasambawa, paduhka sang rêsi, tan wihang anak sang maha muni". Mangkana ature Bagawan Pandya Bumi Sakti. Woyeng Buda asrama, matêmu tangan pwa sang êmpu lawan Dyah Mrêtatma, lwir Sang Hyang Saci makastri Batari Saci. Asih sira kalih, rikala sang rwa amanganana, aji padma danda gêlaranira. Rikalania acumbuana krama, aji kama tantra ginêlaran denira. Maka don putra ati darma utama, purta, ista, kang winangun de sang empu. Purta, ngaran, akarya taman, pancoran, talaga mwang balenia. Ista, ngaran, mapuja ring eka gni, trya gni mwang kunda gni, mwang asih ring panjake sami, amara sraya, tan anang budi udata sang êmpu. Samangkana kamahatmyaning sarira Empu Pandya, angraksa sira. Mangkana kawnangania sang angaduh kapandyan. Pira swenia Empu Kapandyan maswami ring Dyah Mrêtatma, ngarêmpini pwa sang Dyah, satia kang suami mapuja mwang yoga maweda stuti, atutur pwa sira sang êmpu ring kajitendryan, unin ring paturuan, mangka darmani Empu Pande ngirtiakên putra.
Wasitakna sira Bagawan Empu Bumi Sakti woyeng asrama Kayumanis. Kawarna mangke sira Dalêm Bali, Sri Smara Kapakisan, wentên ing Lingarsa Pura, mahyun sang nata masuda sridanta. Dinuta pwa sira Pasêk Bya lunga ing Madura umundang sira Empu Kayumanis kang abiseka Empu Bumi Sakti, tan pendah Empu Lagawe kasidian adnyananira, sira uriping bwana kabeh. Tan wasitakna kang duta maring awan, kancit datêng woyeng asrama Madura, sêdêng sang êmpu mahayu pancopakara, luirnia: puspa, gandaksata, dupa, dipa mwang kumba. Tadanantara mapuja pwa sang êmpu, masurya sewana. Wusnira mapuja, inaweh pwa sang wau prapta, lingnira, "Duh Aum Aum, sang atiti wau prapta, apa kawanganiu, mwang êndi swa desane sira, apa ista sadianta tka, warahên ring kami duga-duga". Mangkana lingnira sang biksu, sumahur sira pasêk tan apanjang, "Duh singgih sang pangêmpuan, patik sang yati anak sira Arya Langon saking Bali Aga. Patik sang yati arêp aguru susrusa ring sang êmpu, lamakane ilang punggung patik sang yati wara". Mangkana ature sira pasêk, sumahur sang êmpu, lingnira, "Duh wuyut mami pangeran pasêk, bagia yan mangkana, apan tuhu ta ko kula wangsaning hulun. Sira Empu Ktek awangsanak ring kawitaning hulun, sira Empu Gandring kang sinuduk nguni ring Ken Arok, gêlaranikang darma yukti ring budiniu, pêngên kari maurip". Mangkana lingning sang êmpu ring sira Pasêk Bya, matur ipasêk, lingnira, "Duh sang yati, karya dwilaba patik sang rêsi datêng marangke. Patik sang pangêmpuan dinuta de Sri Aji Bali kinwan umundang sang êmpu lunga woyeng Bali". Ngandika sira sang dwija, "Duh Pangeran Pasêk, lumapah ta ko rumihin, wuyut ingandika anganti suba dewasaning hulun". Tan wiabicara, amit sira pasêk saking asrama Madura. Tan wasitakna kang duta, kancit datêng suba dewasan sang lunga woyeng Bali. Tadanantara ring awan, kancit datêng ring Gunung Tohlangki, apan sang yati ahawan hyun. Irika kanggêk citanira Bagawan Empu Bumi Sakti, ton teja kara-kara mungguing padmasana manik. Irika nêmbah Bagawan Pandya Bumi Sakti, dumêling tang caksu maring siti tala cihnaning pranata ring pada Batara. "Kamu êmpu suda warna, apa karyaniu, warah duga-duga ring hulun Sang Hyang". Sumahur sang êmpu saha puja pangaksama, "Pakulun Paduhka Batara hyang hyangning Giri Tri Srêngga, brahmana paduhka inundang de Cili Bali, kinwan niksakna sira woyeng Lingarsa Pura". Sumahur Batara, lingnira, "Kamung Empu Madura, yan kita wruh ring tatwaning tanganku têngên, wnang kita niksakna Sri Aji Bali. Tonton lapaning tanganku têngên". Dumêling sira êmpu, nyulingling asta paduhka Batara, "Tabe sang brahmana sang kasuwun, panca brahma, ring lapaning tangan Batara". Sumahur sang hyang, "Endi wnang tibakakna, ring bahu, ring dada". Mênêng sira Bagawan Pandya Madura. Tan wiabicara, ring bahu, suksma Sang Hyang amarêngi kêdap. Angêling sang êmpu ring dalêming twas, "Antian cinging sira paduhka sira hyang hyangning Giri Tohlangkir. Lumaku sira êmpu mahawan hyun, apan sang wruh lawaning dura darsana, doh lawan parêk. Tan wiabicara, datêng sang Empu Madura ring pura Lingarsa Pura, sêdêng sang prabu lunggu ing palangka. Turun Dalêm manganti palangka, lingnira,"Rêp rêp malungguh sang muniwara". Irika masanti sang wiku saha maweda astuti. Malungguh sang êmpu kinalihan ring lungka-lungka. Kascarya sira Empu Bumi Sakti tumingal warnanira Sri Aji, tan hana patihnia lawan sang Hyang Mahadewa. "Sumêlah Sang Hyang Dikara ring anggan sang katong," mangka lingning sang êmpu ring dalêm twas. Apan pada-pada wagmimaya, sira sang rwa angalap iking twas, mojar sang prabu, lingnira, "Duh sang êmpu, tan pendah sang pangêmpuan, Bagawan Anggirasa tumurun saking swarga. Indra yan ring catur lokapala, anirdesia angga sang êmpu tan katuduhan ri kadadinia". Hana pamyam. Mangka ling Sri Aji, sumahur Bagawan Pandya, lingnira, "Duh Aum Aum, Duh sang prabu, hayua mangundang-undang kadi kami brahmana. Apa hetuning maha raja umundang kadi kami brahmana, warahên duga-duga". Sumahur sang katong rum amanis, "Duh sang êmpu, anak sang yati mahyun matua, tumirua gunaning sang huwus lêpas, sira kawitaning hulun, sira Dang Hyang Kapakisan". Sumahur sang rêsi ling nira, "Duh sang katong, bagia manta hyun sang katong yan mangkana, apan tuhu sri narendra, brahma putra, tusning Brahmana Kapakisan, anadi catraning jagat, tunggal lawan kawitaning hulun. Kami brahmana tan asisia satria, hetunia samangkana, hana karêngê de kami ri tatwaning hitiyasa, purana, kang inikêt de Bagawan Sampyana, manadi asta dasa carita: Santanu putrah brahmacaryam, ngaji danur weda astram, rêsya Camadagni mangadyayam, langgyana aduh rêsya Bargawah. Sira maha raja Astinendra maputra, apapasih maharaja Dewabrata, sira mangaji weda ring Bagawan Rama Prasu, aminta nugraha ring nabenira, sira Bagawan Rama Bargawa, amrahmacari, wiku tan kneng istri. Pira swenia angaji danur weda astra woyeng Bargawa asrama, amuit pwa sang Santanawa. Ri nembênira mulih ing Gajah woya, pirangganing swenia sang rêsi Santanu putra ring pura, cêt hana wang istri listu ayu, nangkileng pasramanira Dang Hyang Bargawa, ngaran Dyah Ambilika, aminta sraya ring sang rêsi, lamakane asih Sri Dewa Brata, akurên lawan sira, ri denia sang Dyah, asanak tiga, durung aswami. Arinia, inalap de Sang Citrawirya, Citrasena, majar sang rêsi karubira, ring sang inasraya, Pira kunang swene sang Dyah aneng asrama, kancit datêng sira sang Rêsi Bisma maring asramanirang nabe. Mojar sang nabe, tan dawa denia nguparêngga sabda, lingnira, "Anak mami Bagawan Bisma, alapên iki Dyah Ambilika, ramaniu anugrahe sira anglabuh punang kabrahmacariniu, tan enak uriping wang, akarya duhkaning kadang mitra woyeng jagat, apan tiga satru ring sarira, mahyun angrundahakna yasa kirtiniu rikang bwana. Sang apa tika satrunta mijileng tutuk, wak amisuna, amitya wacana mwang si tan satia wacana, tika kabeh satrunta wijil saking tutuk. Mangke nimitania amet ta sang Dyah Ambilika. Mangkana ling nira Bagawan Rama Prasu, sumahur sira sang Rêsi Bisma, lingnira, "Pukulun sang nabe, tabe anak sang muni, langgyana ri wacana sang kasuhun, bisaman anak sang rêsi mahyun anyukla brahmacari, sinaksenan de Sang Hyang Tryodasasaksi. Takut pwang hulun mitya wacana, ri paduhka batara, tan arêp anak nabe aswami lawan Dyah Ambilika". Ping pat, ping lima, sirang nabe makon pwa sira makurên, ping nêm, ping pitu, Rêsi Bisma amuhun tan arêp aswami ring Dyah Ambilika. Ika kroda Bagawan Rama Prasu ring sisianira, tinuding pwa Sang Dewa Brata, sahawak prakasa. Tan wiabicara, kroda sira Bagawan Santanawa, mamalês mamrapah ratonira, mwang mandêdêl mukanira. Tan wiabicara, maprang pwa sang rêsi kalih adwandwan, pada angawijilakên kasakti adnyananira, dadia kasoran sira Bagawan Rama Prasu, dening sampun mawêrda. Têmbening samangkana, sira sang Brêgu suta amastu sira Bagawan Santanawa, lingnira, "Duh kita Bagawan Santanu putra, tambening mangke kami ramaniu, tusning Brêgu wangsa, tan arêp aniksaning satrya kula, katkeng dlaha. Amaring dlaha, yan sira brahmana tusning Brêgu wangsa dumiksa punang satrya, moga-moga tan sidi palania, wastu amangguh baya agung, jah tasmat, wastu tat astu astu, katkeng wkas, manda ri wkas".
Mangkana pawarah Bagawan Pandya Sakti Bumi ring sang kumawaseng Pulina Bali, pinaka dalihanira takut ring Sang Hyang Mahadewa. Pira swenira Empu Kayumanis woyeng Bali, mulih sang wiku mahawan hyun, tadanantara, datêng ring Asrama Madura.
Mangke kawarna sira sang Dyah Mrêtatma, kasih nirang Empu Kapandyan, sampun mijil sang rare sang aneng garba uni. Anaking atua, sira ngaran Brahmana Sakti Lare, kang ari sira Dyah Kencana Wati, pada sakti amangunakên tapa. Sira Brahmana Lare Sakti, wruh ring tatwa kapandyan, salwiring saraja karya êmpu pande. Tambening samangkana pwa sang Empu Lare, abiseka Empu Gandring Sakti, dudu Empu Gandring Lalumbang. Sira Dyah Kencana Wati, tan pendah Hyang Uma Sruti, hyang hyangning kasatyan mangjadma ring sira, wruh ring witaning weda praga, kebêkan ring brata catur sandi. Tan wiabicara, sinengan pwa sang anak de sang bapa, lingnira, "Duh anaku rwang sanak, nukuakna budiniu isanak. Iki hana panugrahanku ring kita kalih. Simsim kanaka manika manik abang, anaku sira Empu Gandring wnang, apan ta ko angaduh sarwa lalandêp. Iki ikang simsim mamata ratna campaka, anaku Empu Galuh maka wnangania ri denian sira angaduh suksmaning kusumadewa. Mangkana panugrahanira Empu Bumi Sakti ring anaknia maka kalih siki. Tusta girang kang putra kalih, aminta pasungira sang bapa. Pira swenia, sira Empu Gandring Sakti sinungan ratna bang, ring yayahira, tan enak hyunirang Empu Gandring. Katarka tan hana kotamaning simsimnira. Tan wiabicara, sinengan Dyah Ratna Wati, ngelihing arinira, datêng si rayinira, manêmbah ring sang kaka. Mojar sira Empu Gandring sadara alon, lingnira, "Antêning hulun Dyah Ratna Wati, rinasa de rakaniu, tan wnang kita angawa paweh nirang bapa, simanik ratna campaka, apan kita kari mawak kaniaka". Mangkana paminta nirang Empu Gandring. Tan kinaturana de si rayinira. Kroda sira Empu Gandring, wak prakasa, anudingi netrania sirayinira, tan pendah sang Gotamasuta aminta cacupu manik ring si rakanira Dewi Ranjani, paweh Sang Hyang Indra ring sira. Nêhêr tan wineh de sira Empu Galuh, dinanda sirayinira. Kewala sira Empu Galuh suda malilang, kadi manik spatika upama, tan duhka sira. Yan hana ngastawa, tan duhka sira, apan wruh pwa sira, kang sinêngguh tri buana. Tunggal budining wang ring nêraka loka, duhka kewala sira anang kana, tunggal juga budining wang amanggih swarga, suka kewala sira anang kana, iki wang hana ring madya pada, suka, duhka, pati, urip. Mangka hyune Sri Empu Galuh ring dalêming twas. Nimitaning matinggal pwa Sri Empu Galuh, matinggaleng sramanira ri kdeping wang akêmit, makitahya sira mahyun, nganês parigraha, dumunung ikang Giri Srêngga Kusuma. Kadacit katon wang istri listuayu, tan pendah Mdarajwaja patni. Mojar batara lingnira, "Duh Aum Aum, kamung pawestri, apa kawanganiu, Dyah, nunggal-nunggal, sang apa kumawasa ingandika, warahên duga-duga ring kami sang hyang". Sumahur Sri Empu Galuh, lingnira, " Pukulun sang hyang, manih Batara Brahmani saking Madura Desa, anak Bagawan Pandya Sakti, kaputraka de Dang Hyang Agni, maneh batara mahyun nganês parigraha, mahyun amanggihakên swarga ring tkaning pati". Mangkana aturning sang nirsraya. Sumahur sang hyang, lingnira, "Duh wuyut mami Sri Empu Galuh kita, wruh hulun ri kaduhkanditaniu, unawan kiwa ring kawahmi, tan kêneng cala wrêdayaniu. Wruh kami ring ramaniu, putusing adnyana tatwa kapandyan, apan anaking brahmana, teka utama kita. Sira Bagawan Empu Bumi Sakti, pratanjali sira yan ring catur asrama. Mangke hulun tumuduh pwa sira woyeng Bali, ring Gunung Trisangga pinaka asramaning hulun. Kita kania mangke, silih kawitaniu, sira Brahmana Kulputih, pinaka rwanganing hulun, asucia laksana wuni apan mangke sira wrêda tapa, mahyun muliheng dewa loka". Mangkana tuduh sira sang hyang ring Sri Empu Galuh. Tan wihang Sri Empu Galuh kadi wakyaning langit.
Tan katakna sira paduka batara, tucapa sira Empu Galuh, lunga maring Bali . Tan kawarna ring awan, kancit datêng ring sukuning Gunung Agung, amêkul ri pada Sang Hyang Mahadewa saha cita nirmala. Hêlêm-hêlêm, tar lupa sira ring dewa puja, suda pratisteng wrêdayanira, anyangkulputih pwa sira, tan pendah Sang Hyang Uma Sruti pwa sira hyang hyangning kasatyan. Tambening samangkana, Dyah Kencana Wati abiseka Dyah Sang Kulputih. Piangganing swenia Dyah Kulputih ring Besakih, hana wadwa kasihnira batara, ngaran Sang Pragusa Sweta, tan pendah sang Marutsuta pwa sira, ri kawicaksananira. Sira kinwan angaturana pancopakara ring sira Sang Kulputih.
Tucapa sira Empu Gandring Sakti, kinwan de sang bapa angaluruh sira rayinira ri denia matinggal saking desa Madura. Inulati pwa sira ring desa pradesa, mwang ring sunia desi, nêhêr tan kapangguh. Irika mayoga pwa sira Empu Gandring Sakti, mahima, ngaraning yoganira. Mahima, ngaran, umahas pwa sira ring desantara, pinuja ta sira sinêmbah. Wineh boga, anoprabrati. Panca bayu ardanam, bhur, bwah, swah, swaste sariram, bajra satwam prama tatwah anirdesyam swa sarirah. Dura darsana sariranira Empu Gandring tumona wang adoh aparêk. Kadacit, katingalan pwa sang ari aneng Bali, woyeng sukuning Gunung Trisrêngga. Tan wiabicara, linêsuakên pwa yoganira Empu Gandring. Lumaku pwa sira lunga ing Bali. Ri tlêng nikang knana, tadanantara ring awan, kancit surup sira Sang Hyang Diwangkara, araryan pwa sang êmpu ring rangdu wrêksa. Tan ucapa mangke sira Empu Gandring Sakti ring sorning taru kêpuh, dadia hana pwa jadawini krura rupa, mijil saking liangning gunung, mlêd mangalua ambuning manusa. Tan wiabicara, katon pwa brahmana suda warna, dadia makrak tang raksasi, masidugosa, mojar pwa sira wak prakasa, lingnira, "Duh kamung brahmana suda warna, apa hana karyaniu datêng marangke, hulun juga jawaksaya asing marangke, darmaning kadi ngong, raksasi, nara pinaka mangsa kui". Mangkana ling nikang raksasi krura rupa. Irika adan sira sang êmpu anglêkasana Sang Hyang Wisnu, pnyara murti, angawe ulangun budining raksasi. Mojar pwa sang Empu, mamanis manohara, lingnira, "Duh Aum Aum, jadawini ta ko, hulun brahmana saking Madura desa, anak Bagawan Pandya Bumi Sakti. Hulun mahyun lunga maring Bali Aga, angulati antêning hulun, sira Empu Galuh, kinwan de bapanku, sira Bagawan Pandya". Mangkana lingnirang êmpu ri sang krura rupa. Kadi linan twase si raksasi, karuna wacana, tan pendah kala Surpanaka angrêrêmih sang Ragu suta Wijaya, lingnira, "Singgih sang pangêmpuan, maneh sang yati arêp aminta putra padana, lamakane hana nupat hulun ri masaning palatra". Mangkana ling nirang raksasi angasih-asih aminta kasih, luir pendah Dyah Arimbi mahyun alaki ring sira sang Bayusuta. Kawlasan sira êmpu ring sang aminta sraya, mojar sang êmpu tan dawa, lingnira, "Duh kamung raksasi tanggalakna karaksasianiu, tan wihang hulun aswami lawan kita, apan tan dadi hulun tan karuna ring sang aminta srana". Wau mangkana ling nirang rsi, tusta girang citanira sang krura rupa, cet cét ilang tang rupa kabinawa, matmahan pwa sira istri listuayu, tan pendah warapsari turun aneng meru. Mojar pwa sira sadara alon, lingnira, "Duh sang swami, hulun raksasi sampun sida sakama-kama, adan sumimpang ri pagrahaning hulun, tan sida denku angrêtana turaning Sang Hyang Smara. Kadi binasmi tanpa apui twasing hulun". Mangkana aturning raksasi. Tadanantara ngranjing sira sang rwa ring liangning gunung. Suka pada suka sang rwa makurên, tan pahi Dyah Arimbi aswami sang Bayu tanaya. Pira swenia sira Empu Gandring Sakti atêmu tangan ring sirang raksasi, mamtêng pwa sang Dyah Jadawini. Sampun panjang lék yusaning garbaning sang Dyah, mojar sang êmpu ring swaminira, wak patuk, "Antêning hulun Dyah Jadawini ta ko, kari niu ring pagrahan, pahayunan punang rare ring garbaniu, hulun mahyun lunga maring Bali Aga, angulati antêning hulun, Sri Empu Galuh". Sumahur tang raksasi, lingnira, "Duh sang êmpu, suka citan ngwang rumêngwa ujar êmpu ring hulun, maka cihna ning drêda asih aswami". Mangkana aturning raksasi, tanapanjang. Tadanantara, lumaku sira Empu Gandring woyeng Gunung Besakih, mahawan hyun, kadacit datêng woyeng Besakih, katêmu sira rayinira sêdêng ayoga japa samadi. Kascaryan Empu Gandring tumingaling kapragiwanan sang ari. Ri puput nikang yoga, tiningaling sira rakanira prapteng asramanira. Tumurun sira Empu Galuh saking payasanira, lingnira, "Duh sang êmpu rakaning hulun, hulun angturakên kêmbang krangkus, nama Buda Siwa ya. Mojar sira Empu Gandring, "Antêning hulun, Batara Siwa Buda kinabaktianta, pinaka prêmananing hulun. Hulun kinwan angulati kita marangke de sang bapa, Bagawan Pandya Empu Bumi Sakti. Wruh tang hulun ring budyanta mangke, anglarana Sang Hyang Aji Purana Dewa, anyangkulputih. Nya, ngaran idep. Kula, ngaran turunan. Putih, ngaran putus. Apan kita maka anak de sang suda sridanta, wnang kita angaduh kabrahmanan mangke, darmaning si pati, saking urip ulati, pêngpêngan kita mahurip mangke, darma juga lêkasana rumuhun, maka sadanang sang hyang catur weda". Mangkana piwkasira Empu Gandring Sakti ri sira rayinira. Irika suka pada hyunira sang rwa, sang matinggal lawan sang katinggalin. Tan wasita sira êmpu ring awan, kancit datêng ring sramaning kala raksasi. Pinêndak pwa sira tkaping kasihnira tumut katkeng anakira, sang aneng garba uni. Umatur sira raksasi, girih sawaka, lingnira, "Duh sang yatiwara, anak sang pangêmpuan iki, kang ri samipaning hulun. Mangkana ature ni Dyah Giri Séwaka, tusta girang hyunira sang êmpu, "Duh antêning hulun Giri Sewaka kita, mahyunkui muliheng Madura desa mangke, parêng-parêng lawan anaking hulun. Matur Dyah Giri Sewaka, lingnira, "Duh sang swami ta maha rêsining hulun, manêh sang yati tan tumut umiring sang yatiwara, apan bina warnaning hulun. Iki anaking hulun, pinaka panawuran sih, manêh sang biksu, hulun sakingke asih ring anaking hulun. Iki rarening hulun maharan Brahmana Dwala, apan sira pinaka walan uriping hulun". Mangkana ature Dyah Jadawini. Mangke tan wasitakna ujar nirang êmpu, pada asih kumasih, pada-pada kawakgminira, amunggêl ikang wrêdaya. Tan wiabicara, lumaku sang rsi tumut sang anak, sira sang Brahmana Dwala, mojar sira sang ibu amastwakna anakira, lingnira, "Tambayang sarwa bayam, durga sma sindu wanam. Duh anaku sang Brahmana Dwala kita, moga-moga kita dirga prana, wêrdi putrah mahajanam. Wêrdi sêntana kita woyeng jagat raya, tan amangguh anang baya kewuh kita, ring alas, durga, setra, sindu, sgara, tan kna tinêngêtan dening buta, pisaca, kala dêngên. Hulun ibuniu mulihing swarga mangke, apan wus sinupat de kotamani ramaniu, sira Empu Gandring Sakti". Mangkana ujar nikang raksasi, matmah widiadari.
Tan katakna Dyah Giri Sewaka, tucapa sira Empu Gandring. Sang êmpu nangkileng sang bapa. Tusta girang sang bapa ri tkaning sira anakira, "Duh Aum Aum anak mami, punapa karyaniu kinwan de bapanta angulati sira rayinira". Sumahur sira Empu Gandring tan apanjang, ridenian sang bapa, wruh ring suksma ring dura darsana, katon tang sarwa bawa, mwang adoh aparêk, tan adwa denira nguninganga ring sang bapa, lingnira, "Pukulun sang dwija, sira rayining hulun sira mahyun ngênês parigraha, tumirwa guna sang brahmana, suda sridanta. Sira pinaka kili de Sang Hyangning Tohlangkir, mangke abiseka sira sang Kulputih". Mangkana ature sang Empu Gandring ring sang dwija kapandyan. Suda hyunira Empu Bumi Sakti rumênga aturning sang anak. Angling ta sang dwijatan adawa, lingnira, "Anak mami, wruh sira ramayabapa ring budining rayinira. Ramaniu mangke arêp tuminja asramaning arinta sira Empu Galuh. Kita pakari ring asrama ngke, apan sampun sida karyan hulun woyeng martya loka, wêrdi anak putu, pinaka pangêntasing hulun mulihing swarga mangke". Wau mangkana ling nirang Empu Bumi Sakti, cêk pwa ilang marêbing kdap muliheng Brahma loka.
Tucapa mangke sira Brahmana Dwala, sampun tumaruna yusanira, tan pasiringan sira woyeng asrama Madura, wagêding kawi gita, wruh salwir saraja karya kabeh, mwang nurageng jagat raya, tan pendah sasratmasa numêndeng bumi, wruh ring tatwa aji kapandyan. Tan kawarna mangke sira Brahmana Dwala, tucapa mangke sang bapa, sira Empu Gandring Sakti, sêdêng umaradana Sang Hyang Siwa Gni, mahyun pwa sira muliheng brahma loka. Datêng sira Brahmana Dwala ri têlênging Gunung Indrakila, katon sang bapa, maprana yama, makeris pwa awakira sang êmpu, wuryaning tan pamangan ara, rumakêt awaknia lawan kuliting kayu, tan pendah maha raja Drêstarastra, rikalaning srama wasa wuni, mahyun pwa muliheng kwera nêgara. Marabas ranuning aksinira sang anak, tumon sang bapa kadi layuan, mahyun pwa sira pêjah umiring sang bapa. Tadanantara, hana puspa warsa tiba saking byomantara, marênging jaya-jaya astungkara karênga de sang Brahmana Dwala. Kancit datêng sira Empu Saguna, mahawan tawang, agia tumutur lawan wuyutnira sira brahmana Dwala, lingnira, "Duh Aum Aum, wuyut mami Brahmana Dwala kita, wakakna pangrênga talinganta karo, tan hana badrawada asuji, kagnopita dewata kadi kami, kami buyutta, Empu Siwa Saguna, apêrnah ari minde ring kakiniu, Bagawan Pandya Empu Bumi Sakti. Ri mangke wayahta sampun amoring acintia wus numarjanang dadia wineh mrêta karsana weda de Bagawan Darma Swami, waras tekang sang catur diri, pada mengêt ring karunanira Bagawan Darma Swami".
Tucapa mangke anaking ratu sakeng Madura desa, sêdêng pwa amaburu, cinarokan dening mong. Pejah pwa sang raja putra, busanania inalap dening puhun, inaturakên ring Bagawan Darma Swami. Tinarima de Dang Hyang Darma Swami. Pirangganing swenia, tang busana sang raja sunu woyeng pasraman, lunga sang rsi woyeng Madura, wineh kang Swarnangkara, akarya busana kapanditan. Tan wihang ikang Swarnangkara, apan mengêt mahutang jiwa. Ring tulihning sang Wiku Darma Swami, rumasa-rasa ring dalêm twasing Swarnangkara, busanan sang Raja Putra Madura, "Wawangunaning hulun nguni". Irika kadi kayu mangadêg pwa Empu Swarnangkara, tan sang pandita, tan sang prabu, mengêt pwa sang Empu Swarnangkara, kasadu adnyananira, ika marmane inaturakên tang busana, ring sang aniryeng Madura. Ri datêngnira ring pura, inaturana punang raja busana ring sang katong, mawarah tan adua ring sang narsineng Madura, saking paweh Bagawan Darma Swami. Irika kroda sang prabu, katarka sira sang wiku amêjahana sang raja putra. Tan wiabicara, tinêmbang tang têngêran woyeng paseban, niabimatanira, anglarah Bagawan Darma Swami. Tan katakna, kapangguh sira sang rsi dening prajuriteng Madura,. Inapusan pwa awak sang Darma Swami, binalitbit, dening wlatung. Tan kawarnan sangsaranira sang rsi, dadi karênga den pun wyagra, si pragusa. Sang tiga angitêrakên naya, lamakane lêpas sang wiku saking apus, woyeng watangan Madura. Mangke tucapa sampun lêpasa saking talinira, saking pangupayaning pragusa. Ri luputnirang Empu Darma Swami, mucap ring dalêm atinira, mwang manyêlsêl pala karmanira, pasahe kalawan duta, têmbening mangke yan hana sêntananing brahmana kading hulun, ring dlaha, lamakane tan tuting budi dusta, mwah rumasa-masa sira ring pamargining sira Empu Swarnangkara, tan hana singsalnira, ring kadi kami brahmana, apan sira amangaduh darma kapandyan, tan hana matrania, asuna, kadi kami brahmana rinasa de Empu Swarnangkara, satia brahmana, tunggal denia angrasaning, matangnian tan hana singsal nikang Swarnang kara ri kadi kami brahmana, matangnia santa citanira, Bagawan Darma Swamiri sirang Swarnangkara, tambening samangkana sira Dang Hyang Darma Swami, anguswakên wuwus wak patut, lingnira, "Kamung Sang Hyang Triodasa saksi, makadi Sang Hyang Catur Loka Pala, sang hyang pinaka saksining rat kabeh, têmbening mangke brahmana kadi hulun, tan arok lawan budi dusta, kang kadi laksananing mong kang angaweh hulun ratna manik nguni. Yan hana sêntananing hulun dusta budi, jah tasmat, tan sida sadia woyeng jagat raya. Tambening mangke hulun brahmana tan mahyun pwang hulun angawehanang tirta sêntananing pande Empu Bangkara, Swarnangkara. Mangkana bisamanirang Darma Swami, nimitaning ayua ramaniu Empu Gandring rinilêmanira aminta nugrahaning brahmana". Mangkana tumuture sira Empu Siwa Guna ring wuyutnira Brahmana Dwala, umatur sira Empu Dwala Adnyana ring wuyutnira, lingnira, "Tirta pawitram mahawarsah. Duh sang pangêmpuan, kadi udanan amrêta twasing hulun. Tan pendah sang Hyang Indra sang pangêmpuan ring kawagmimayan. Tan langgyana hulun ri sapakon sang yati wara". Sumahur sang Empu Siwa Saguna, amastwa sida karyanira, "Duh Aum kamung Brahmana Dwala, moga kita sida karya woyeng jagat, amangguhanang nuraga". Ri puputning wara nugraha, cêt ilang sang rsi mawan tawang.
Tan ucapa sira Empu Gandring sampun muliheng Sura bwana, kwarna mangke sirang Brahmana Dwala, mahyun sira anyuda sridanta. Tan hana pinaka nabenira woyeng Madura desa. Tambening samangkana hana hyunira akarya pralingganing wayahnira, sira Bagawan Empu Bumi Sakti mwang swaminira Dyah Mrêtatma. Ri puputning arca kalih, lungguhana pwa ring padmasana woyeng padewaran hlêm. Tan lupa pwa muja kawitanira tan pendah sang Ekalaywan, anak sang Nisada, mahyun tumut ring karya sang Pandawa Korawa wuni madanurdara woyeng paseban. Apan sira sudra yoni, tan wineh tkaping Bagawan Drona. Lês matilar mungsi desa sunia. Sira angwangun Drona lingga. Enjing sira Ekalaywan masuci, wusira masuci, manêmbah pwa sira, wus sira manêmbah, madanurdara astra pwa sira matunggalan, nimitaning sor kapradnyaning Parta amêntangakên sarwa sayaka. Sira Brahmana Dwala, samangkana juga sira bakti ring kawitanira. Wineh wara nugraha sira ring kawitanira, ngaran, Pustaka Abang, maka gêlaraning pati urip.
Tucapa mangke sira Empu Dwala Brahma woyeng asrama Madura, tan pendah Wiswakarma atmaja, ring kawagmianira angaduh salwiring saraja karya. Sampun wêrdi putra sira Empu Dwalagni, anak kang atua sira Arya Pande Bratan, sira Arya Pangde Sadguna.
Tucapa mangke sang aniryeng Bali, sira Sri Aji Baturenggong, abiseka maha raja Krêsna Kapakisan, tinampa de para anglurah sadaya, pinaka adining mantri, Kyai anglurah Agung Widia, tan adoh Kyai Anglurah Dauh Kulwan Baleagung, pada-pada widagda sira, anglus punang bumi. Rêp dyêm ta Balina ri tadêgira maharaja Kapakisan woyeng Lingarsapura, tan pahi sira Batara Krêsna, kasiwi sira sang Udaweng mantri. Mangke mahyun pwa sira aji angwangun punang swa raja karya, ngeka dasa ludra woyeng Pura Besakih, apan sampun hana brahmana sakti wau prapta, cudamanianing sapasuking Bali Aga, tan pendah sira sang wiku Batara Pitamaha, kasidyadnyananira, sira tika maka palaningyadnyanira sang katong, sineng sahananing prakarya de sang andiryeng Bali, lwirnia undagi, sangging Prabangkara, tusning pade bêsi, bujangga, pada mawurwuran kawidagdania angaduh saraja karya. Tan wiabicara, kanggêk swa raja karyan sang prabu, ri donia tan anang Empu Swarnangkara woyeng Bali. Tusning Pande Tusan, Pande Tatasan, sang êmpu hana ring Bali tan wruh akarya mas pirak, wosêk citanira sang prabu ri denia tan hana akarya upacaraning widi widana, mwang busananing batara. Tan wiabicara, hana wrêta matra, woyeng desa Candi Kuning, sira Arya Pande Wulung namanira, turun saking desa Madura, anak sang Empu Brahma Dwala, mangunakên tapa ring Gunung Bratan. Ri sampun puput kertinira, sira abiseka Empu Sadguna, widagda sira ring darma kapandyan mwang akarya kanaka mwang rajata, wruh ring kotamaning sarwa manik. Sira inundang de sang prabu lunga woyeng Gelgel, parêk ring padanira Batara Krêsna Kapakisan. Tan wihang sira Empu Sadguna parêk ring padanira dalêm. Tan katakna ring awan, kancit datêng woyeng paseban Lingarsapura, kascarya sira êmpu tumon ikang wang angaduh saraja karya pada kabinawa pwa karyanira. Sadatêngira ring pura, masanti, mapuja ngaksama ring sang prabu. Wusira mapuja, malungguh pwa sira êmpu umiring sang prabu. Angling sang prabu arjawa, lingnira, "Duh sang Empu Swarnangkara, hulun iki aminta sadmata ri sang êmpu, sidakên karyan hulun, pangeka dasa ludra mangke, karyanana mami sopacaraning saraja karya". Sumahur sang êmpu tan dawa, lingnira, "Singgih sang maka murdaning Bali Aga, tan wihang êmpu prameswara, akarya sopakaryaning pangeka dasa ludran. Tan wiabicara wineh sirang êmpu kanaka manik mwang rajata". Tan wasitakna, mayoga Empu Sadguna anglarana Aji Tatwa Kapandyan, mwang si Panca Bayu Ardana mwang Sang Hyang Panca Nala, ring sariraning sang êmpu. Mangêndah tang apui arêpanira. Apalon tangan, aparon pupunira, gni saking lapa-lapaning tangan pada angawijilana guna saktining adnyananira swang-swang. Sira êmpu pande wsi, juga mangkana pawyadnyananira, sira Empu Bangkara, juga samangkana denira anglêkasana gunanira. Mwang sang Wiswakarma, sira sinanggêh pande kayu tapat sira ring tatwa darma laksana. Ika kabeh, samua tusning anala tatwa. Anala tatwa, ngaran, sira pandenira Batara Rama nguni, duking Utara Kanda Tatwa, sira sang Pande Analagni, pandening situ banda, maka sêdananing mêntaseng tasik, lwirnian tusnira mangke, Empu Swarnangkara, Empu Kapandyan, Wasi, Empu Sangging Prabangkara, Empu Darma Laksana, abiseka Empu Darmaja, iki samuha Anala wangsa. Yan sampun ngaduh kawikon, abiseka sang Dwijati. Dwijati, ngaran, wang wijil ping kalih.
Tan katakna mangke tang saraja karya sang prabu, tucapa mangke, sira Empu Swarnangkara, sampun wiweka nugraha de Sri Aji Bali, pada-pada ika kabeh pasungira. Sira Empu Swarnangkara, hana ring sramanira ring Bratan, sampun wredi putra pwa sira, woyeng Bratan, anak kang atua, sira (1) Pande Banupania nira, kang amadia, apanêngêran sira (2) Pande Suradnya, ikang sampun mapurohita, abiseka Pande Rsi, wuruju sira (3) Arya Pande Tusta, pinih untat sira (4) Arya Pande Tonjo, angaduha sarwa lalandêp. Malih hana kang istri, mapêsengan (5) Dewa Ayu Putu Sara, kaambil antuk Gusti Lanang Dauh ring Gelgel, maputra asiki lanang, mapêsengan (a) I Gusti Pande, sane madenan malih istri, mapêsengan (b) Dewa Ayu Made Sari, kaambil antuk I Gusti Panji ring Buleleng, tan madrwe putra. Sane nyomanan talêr istri, mapêsengan (c) Ni Ayu Nyoman Santun, tan marabian, kapingit ring Batara Pucak Batukaru, sane kêtutan lanang, pêsengane (d) Ida Wana, dadi wanagi, maka ngukir lintang pradnyan.
Tan wasitakna anake Empu makabehan, tucapa sira Empu Wulung sampun mur muliheng suniata, puputing panilêman. Kwarna mangke tang putra sadaya, sampun pada wruh angaduh darma kapandyan.
Tan wasitakna sira Arya Pande Bratan, tucapa mangke kawulane Pasêk Kayu Sêlêm saking Batur, lunga angalu lintang ring desa Bratan. Kdacit surup sira Batara Surya, manginêp pwa ring desa Bratan. Tan ucapan mangke wang pangalu, katakna sira satusning Pande Bratan wêtu cara medanira panêndaning rundahnira, panêndaning batara kawitanira sira Bagawan Pandya Empu Bumi Sakti, pinaka padarmaning pande woyeng Besakih. Wulangun pwa sira kabeh tan lingan lawan loka stiti, kdacit cinidra wang pangalu rikalaning wêngi. Tan wiabicara rinamêsa pwa sira, mangunjangan. Pira swenia sakrêhing Pande Bratan anêlasanang pêngalu, hana wrêta matra karênga olih I Pasêk Batudinding. Antian runtiknira sira Pasêk Batur ri sira Pande Bratan. Riabimanania angrundahakna desa Bratan, tinêmbang punang tatabuhan woyeng Batur, geger sakrahe Pasêk Batudinding, saha sanjata, lwirnian, Pasêk Kayu Sêlêm, Pasêk Cêmpaga, sira Pasê Cêlagi Manis, Pasêk Babalangan, Babandêm, Poh Têgêh, Pulasari, mahyun makola guna sakti lawan I Pande Bratan. Murawa kumêrisik, bubar beri mwang kala sangka, surak tan pangkura, kadi aluning jêladi. Tan dwa matangkêp prangira wadweng Batur mwang Bratan, arok arukêt, pada tan ngucap mundura, kantar pada kantar, tulup pada tulup, kadi syukning alang-alang swaraning mimis, tumitih swaraning brahma sira. Kadi walang tinêbah dening waranaba, pasamburat, ajrih malayu, anak putu ingêmban, anangis pati prêngak, pati prêngik, wurmani akdik, kinabehan satru, akweh palatra. Sesaning pêjah, hana ngungsi desa para desa, hana anuntun wawalungan, hana mundut pustakanira, si pustaka Bang, angungsi desa Taman, kang apanêngêran Empu Jangga Rosa, sira Arya Pande Sarwada, angalih ring desa Kapal, sira Arya Pande Rumaja, asrama woyeng Kawisunia, sira Empu Tarub, angalih ring desa Sadawata, ngaran, Marga, sira Arya Pande Danuwangsa, sira angalih ring desa Gadungan, hana ring Srampingan, sira Arya Pande Swarna, sira angalih ke Ler Gunung, anyêraka ring padanira Kyai Nglurah Panji Sakti Alot, sira Arya Pande Tonjo, angalih pwa desa Klungkung, hana ring Tusan, hana ring Badung, sira Arya Pande Gurun Ruktya, sira angalih ring Bangli, sira Ida Wana, angalih ring Bayan. Ika samua sanak amisanira sira Arya Pande Bratan, tan dadi ngaku ming tiga, sadohe ming ro, ayua lupa ring sanake kabeh, yan sira lupa kabrahmantya wolihira Batara ring Panataran Bratan.
Tan wasita sira pande sadaya, kawarna sira Empu Tarub, kang asrama woyeng desa Marga, sira mayoga samadi woyeng desa Marga, ring dina Saniscara Siwa, wara Jênar, rikalaning sukla paksa, tambening samangkanasira angrêdana kawitanira rikalaning wêngi hana sabda mantara karênga, lingnira, "Wuyut mami ayua duhka samua amangguhakên sangsara, larapan pangêndaning titah. Kita Brahma wangsa maka nara mangsa, apan kita amangan anak tusning Pasêk Batur, tunggal-tunggal kawitaniu lawan Pasêk, apan juga sira tusning Brahmana wangsa. Sira Empu Ktek, sikanira sira Empu Brahmaraja Kapandyan. Mangke kalaniu angwangun karya, suka mwang duhka, yan tan olih anganggo jajaton, sêrbuk wargane sira, tan sida karyaniu. Mwah yan hana kanin tangan sang adrwe karya, wyadin kadange, sira wnang juga ginawe jatu. Yan tan samangkana, ayua lupa ring darma kapandyan. Yan kita mahyun bakti ring kami ring we siwa, saniscareng wara Jnar, sêmbahên kui saking pahibuanta iki, saha cita nirmala, cihnanta atutur kadi kami, kami wuyuta Empu Brahma Dwala".
Tan wasitakna sira Empu Tarub woyeng Sadawata desa, sampun wêrdi putra pwa sang êmpu, tan lupa pwa sira ring pawêkasing kawitanira, bakti ring dewa, tar malupeng pitra puja, masih ta sira ring swa gotra kabeh, nuhaga pwa sang êmpu woyeng desa Marga. Kinasihan pwa sira ring sang para sujana, ri denian satya pwa sira ring ujar, wruh ngenaking budining praja.
Mangke katakna sira Arya Pande Ruktya, hana ring bumi Bangli, ring banjar Pule juga angaduh saraja karyanig mas pirak.
Tan kawarna sira Arya Pande Ruktya, tucapa mangke I Gusti Praupan mwang I Gusti Dawuh Pamamoran, sira ngawasakna bumi Bangli.
Pira swenia anadi payunging bumi Bangli, katakna mangke (1).I Dewa Tirta Arum, abiseka I Dewa Pamêcutan, kang ari (2). I Dewa Pring, angalih ring desa Brasika, wuruju (3). I Dewa Pindi, apuri ring Pagêsangan, sira tika angêlurug punang desa Bangli. I Gustu Prawupan, pêjah pwa sira de si kadga I Lobar.
Tucapa mangke I Gusti Dawuh Pamamoran. Tumut sira Pande Ruktya mwang sanakira Pande Likub, tusning Pande Bratan tumut umaring Ngurah Dawuh Pamamoran. Ajrih angili pwa sira kinabehan, dening satru woyeng Taman Bali. I Gusti Dawuh Apuan angungsi bumi Cêmbangawon.
Tan ucapan mangke I Gusti Dawuh Apuan woyeng Cêmbêngawon, kawarna sira Pande Likub malayu saking desa Bangli angindit kawitanira pratima kalih siki, lakibi, pralingganira Empu Pandya Sakti mwang Dyah Mrêtatma, sira angalih ring desa Timbul.
Sira Arya Pande Ruktya, kanasan palayunira lawan sira rayinira, apan tinut buri dening satru, jênêk pwa sira woyeng desa Blahaking, kang kawasa punang desa Blahbatuh, Sira Kyai Anglurah Jêlantik tusning Wesnawa wangsa. Mangkana pari kandanira umungguh ring piagêm. Pira swenia sira Pandya Ruktya woyeng Blahbatuh karo sidening wisa tan wêrdi santananira, apan malupa lawan kawitanira, tan pendah kadi wang kakênan brahmatya, amênti-mêntik punggêl. Pira swenia samangkana wruh sêntanane sira tusning Pande Bratan, sah saking Bangli nimitaning akarya padewaran ratu kapandyan mwang Dalêm Bangli. Tambening samangkana pwa sira amangguh sadia rahayu. Mangkana umungguh ring prasasti.
Puput.
Alih aksara oleh: I Wayan Sutedja, Buruan, Penebel Tabanan
Rabu, 19 Februari 2014
SERAT WEDHATAMA
Serat wedhatama ini adalah salah satu serat
karangan KGPH Mangkunegara IV , berasal dari
dua kata wedha yang berarti ajaran dan tama
yang berarti utama, serat ini berisi tentang
ajaran-ajaran kebaikan , budi pekerti dan akhlak
yang hingga sampai sekarang masih dapat
diterapkan dalam kehidupan, serat ini ditulis
dalam bentuk tembang macapat agar mudah
diingat dan digemari oleh masyarakat Jawa yang
pada umumnya menyukai kesenian. Naskah
aslinya sekarang masih dapat kita lihat di
Museum Reksapustaka di Pura Mankunegaran
lantai dua .
kgpaa-mn-iv-ii1
PUPUH I
P A N G K U R
01
Mingkar-mingkuring ukara , akarana karenan
mardi siwi , sinawung resmining kidung, sinuba
sinukarta, mrih kretarta pakartining ilmu
luhung, kang tumrap ing tanah Jawa, agama
ageming aji .
02
Jinejer ing Weddhatama , mrih tan kemba
kembenganing pambudi , mangka nadyan tuwa
pikun, yen tan mikani rasa , yekti sepi sepa lir
sepah asamun , samasane pakumpulan , gonyak-
ganyuk nglelingsemi .
03
Nggugu karsane priyangga, nora nganggo peparah
lamun angling, lumuh ingaran balilu, uger guru
aleman, nanging janma ingkang wus waspadeng
semu, sinamun samudana , sesadoning adu
manis .
04
Si pengung nora nglegewa , sangsayarda denira
cacariwis, ngandhar- andhar
angendukur, kandhane nora kaprah , saya elok
alangka longkangipun , si wasis waskitha ngalah ,
ngalingi marang sipingging.
05
Mangkono ilmu kang nyata , sanyatane mung we
reseping ati , bungah ingaran cubluk , sukeng tyas
yen den ina , nora kaya si punggung anggung
gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono
wong urip .
06
Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting
saluwir, kadi ta guwa kang sirung , sinerang ing
maruta, gumarenggeng anggereng anggung
gumrunggung, pindha padhane si mudha ,
prandene paksa kumaki.
07
Kikisane mung sapala, palayune ngendelken
yayah wibi , bangkit tur bangsaning luhur , lah iya
ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung ,
mring atining tata krama, nggon - anggon agama
suci.
08
Socaning jiwangganira , jer katara lamun pocapan
pasthi , lumuh asor kudu unggul , sumengah
sesongaran ,yen mangkono kena ingaran
katungkul , karem ing reh kaprawiran, nora enak
iku kaki .
09
Kekerane ngelmu karang , kakarangan saking
bangsaning gaib, iku boreh paminipun , tan
rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning
daging kulup, Yen kapengkok pancabaya ,
ubayane mbalenjani .
10
Marma ing sabisa -bisa , babasane muriha tyas
basuki , puruitaa kang patut , lan traping
angganira, Ana uga angger ugering kaprabun,
abon aboning panembah , kang kambah ing siang
ratri .
11
Iku kaki takokena , marang para sarjana kang
martapi , mring tapaking tepa tulus , kawawa
nahen hawa, Wruhanira mungguh sanjataning
ngelmu, tan mesthi neng janma wreda , tuwin
muda sudra kaki .
12
Sapantuk wahyuning Allah , gya dumilah mangulah
ngelmu bangkit , bangkit mikat reh mangukut ,
kukutaning Jiwangga , Yen mangkono kena
sinebut wong sepuh , liring sepuh sepi hawa, awas
roroning ngatunggil .
13
Tan samar pamoring Sukma , sinukma ya winahya
ing ngasepi , sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning waana, tarlen saking liyep layaping
ngaluyup, pindha pesating supena, sumusuping
rasa jati .
14
Sajatine kang mangkono , wus kakenan
nugrahaning Hyang Widi, bali alaming ngasuwung ,
tan karem karamean, ingkang sipat wisesa
winisesa wus , mulih mula mulanira, mulane wong
anom sami.
PUPUH II
SINOM
01
Nulada laku utama, tumrape wong Tanah Jawi ,
Wong Agung ing Ngeksiganda , Panembahan
Senopati, kepati amarsudi , sudane hawa lan
nepsu , pinesu tapa brata , tanapi ing siyang ratri ,
amamangun karenak tyasing sesama .
02
Samangsane pesasmuan, mamangun martana
martani , sinambi ing saben mangsa , kala kalaning
asepi , lelana teki-teki, nggayuh geyonganing
kayun , kayungyun eninging tyas, sanityasa
pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar, lawan
nendra .
03
Saben nendra saking wisma , lelana laladan sepi ,
ngisep sepuhing supana, mrih pana pranaweng
kapti, titising tyas marsudi, mardawaning budya
tulus, mese reh kasudarman, neng tepining jala
nidhi, sruning brata kataman wahyu dyatmika .
04
Wikan wengkoning samodra, kederan wus den
ideri, kinemat kamot hing driya , rinegan segegem
dadi, dumadya angratoni , nenggih Kanjeng Ratu
Kidul, ndedel nggayuh nggegana , umara marak
maripih, sor prabawa lan Wong Agung
Ngeksiganda.
05
Dahat denira aminta, sinupeket pangkat kanci ,
jroning alam palimunan , ing pasaban saben sepi ,
sumanggem anjanggemi , ing karsa kang wus
tinamtu , pamrihe mung aminta, supangate teki-
teki, nora ketang teken janggut suku jaja.
06
Prajanjine abipraja, saturun - turun wuri, Mangkono
trahing ngawirya , yen amasah mesu budi ,
dumadya glis dumugi , iya ing sakarsanipun , wong
agung Ngeksiganda, nugrahane prapteng
mangkin, trah tumerah darahe pada wibawa .
07
Ambawani tanah Jawa, kang padha jumeneng aji ,
satriya dibya sumbaga , tan lyan trahingSenapati ,
pan iku pantes ugi, tinelad labetanipun, ing
sakuwasanira, enake lan jaman mangkin ,
sayektine tan bisa ngepleki kuna .
08
Luwung kalamun tinimbang, ngaurip tanpa
prihatin, Nanging ta ing jaman mangkya, pra
mudha kang den karemi , manulad nelad Nabi ,
nayakeng rad Gusti Rasul , anggung ginawe
umbag , saben saba mapir masjid , ngajap -ajap
mukjijat tibaning drajat .
09
Anggung anggubel sarengat, saringane tan den
wruhi, dalil dalaning ijemak , kiyase nora mikani,
katungkul mungkul sami, bengkrakan neng masjid
agung , kalamun maca kutbah , lelagone
dhandhanggendhis, swara arum ngumandhang
cengkok palaran.
10
Lamun sira paksa nulad, Tuladhaning Kangjeng
Nabi, O , ngger kadohan panjangkah , wateke tak
betah kaki , Rehne ta sira Jawi , satitik bae wus
cukup , aja ngguru aleman , nelad kas ngepleki
pekih , Lamun pungkuh pangangkah yekti
karamat .
11
Nanging enak ngupa boga , rehne ta tinitah langip ,
apa ta suwiteng Nata, tani tanapi agrami ,
Mangkono mungguh mami , padune wong dhahat
cubluk , durung wruh cara Arab, Jawaku bae tan
ngenting , parandene pari peksa mulang putra .
12
Saking duk maksih taruna , sadhela wus
anglakoni, aberag marang agama , maguru
anggering kaji , sawadine tyas mami , banget
wedine ing besuk , pranatan ngakir jaman , Tan
tutug kaselak ngabdi, nora kober sembahyang gya
tininggalan.
13
Marang ingkang asung pangan , yen kasuwen den
dukani, abubrah bawur tyas ingwang, lir kiyamat
saben hari , bot Allah apa gusti , tambuh - tambuh
solah ingsun, lawas - lawas graita , rehne ta suta
priyayi, yen mamriha dadi kaum temah nista .
14
Tuwin ketib suragama , pan ingsun nora winaris,
angur baya angantepana, pranatan wajibing urip ,
lampahan angluluri , aluraning pra luluhur , kuna
kumunanira, kongsi tumekeng semangkin,
Kikisane tan lyan among ngupa boga .
15
Bonggan kang tan mrelokena , mungguh ugering
ngaurip, uripe tan tri prakara , wirya, arta , tri
winasis, kalamun kongsi sepi , saka wilangan
tetelu , telas tilasing janma , aji godhong jati aking,
temah papa papariman ngulandara.
16
Kang wus waspada ing patrap , mangayut ayat
winasis, wasana wosing Jiwangga , melok tanpa
aling-aling , kang ngalingi kaliling , wenganing rasa
tumlawung, keksi saliring jaman , angelangut
tanpa tepi , yeku aran tapa tapaking Hyang
Sukma .
17
Mangkono janma utama, tuman tumanem ing
sepi, ing saben rikala mangsa , masah
amemasuhbudi, lahire den tetepi , ing reh
kasatriyanipun, susila anor raga, wignya met
tyasing sesame, yeku aran wong barek berag
agama .
18
Ing jaman mengko pan ora , arahe para turami ,
yen antuk tuduh kang nyata , nora pisan den
lakoni , banjur njujurken kapti , kakekne arsa
winuruk, ngandelken gurunira , pandhitane praja
sidik, tur wus manggon pamucunge mring
makrifat .
PUPUH III
PUCUNG
01
Ngelmu iku , kalakone kanthi laku , lekase lawan
kas , tegese kas nyantosani , setya budya
pangkese dur angkara.
02
Angkara gung , neng angga anggung gumulung,
gogolonganira triloka, lekere kongsi , yen den
umbar ambabar dadi rubeda .
03
Beda lamun , kang wus sengsem reh ngasamun ,
semune ngaksama , sasamane bangsa sisip ,
sarwa sareh saking mardi marto tama .
04
Taman limut , durgameng tyas kang weh limput,
kereming karamat , karana karohaning sih , sihing
Sukma ngreda sahardi gengira .
05
Yeku patut , tinulad -tulad tinurut, sapituduhira , aja
kaya jaman mangkin , keh pramudha mundhi dhiri
lapel makna .
06
Durung pecus , kesusu kaselak besus , amaknani
lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak
angendhak gunaning janma .
07
Kang kadyeku , kalebu wong ngaku- aku, akale
alangka, elok Jawane denmohi , paksa ngangkah
langkah met kawruh ing Mekah.
08
Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh , lumeketing
angga , anggere padha marsudi, kana- kene
kaanane nora beda.
09
Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen
kabul kabuka, ing drajat kajating urip , kaya kang
wus winahyeng sekar srinata.
10
Basa ngelmu , mupakate lan panemu , pasahe lan
tapa, yen satriya tanah Jawi , kuna- kuna kang
ginilut triprakara .
11
Lila lamun , kelangan nora gegetun , trima yen
kataman, sakserik sameng dumadi , trilegawa
nalangsa srahing Batara.
12
Batara gung , inguger graning jajantung, jenak
Hayang Wisesa , sana paseneten Suci, nora kaya
si mudha mudhar angkara.
13
Nora uwus , kareme anguwus-uwus , uwose tan
ana, mung janjine muring -muring , kaya buta-
buteng betah nganiaya .
14
Sakeh luput , ing angga tansah linimput, linimpet
ing sabda , narka tan ana udani, lumuh ala ardane
ginawe gada .
15
Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul , kaseselan
hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya
anggambuh mring Hyang Wisesa .
PUPUH IV
GAMBUH
01
Samengko ingsun tutur, sembah catur : supaya
lumuntur, dihin: raga, cipta , jiwa , rasa , kaki, ing
kono lamun tinemu , tandha nugrahaning Manon .
02
Sembah raga puniku, pakartine wong amagang
laku , susucine asarana saking warih , kang wus
lumrah limang wektu , wantu wataking wawaton.
03
Inguni -uni durung, sinarawung wulang kang
sinerung, lagi iki bangsa kas ngetok - ken anggit,
mintoken kawignyanipun , sarengate elok - elok.
04
Thithik kaya santri Dul , gajeg kaya santri brahi
kidul , saurute Pacitan pinggir pasisir, ewon wong
kang padha nggugu , anggere guru nyalemong.
05
Kasusu arsa weruh , cahyaning Hyang kinira yen
karuh , ngarep -arep urup arsa den kurebi, Tan
wruh kang mangkoko iku , akale keliru enggon.
06
Yen ta jaman rumuhun , tata titi tumrah
tumaruntun, bangsa srengat tan winor lan laku
batin , dadi ora gawe bingung , kang padha
nembah Hyang Manon .
07
Lire sarengat iku , kena uga ingaranan laku , dihin
ajeg kapindhone ataberi, pakolehe putraningsun ,
nyenyeger badan mwih kaot .
08
Wong seger badanipun , otot daging kulit balung
sungsum, tumrah ing rah memarah antenging
ati , antenging ati nunungku , angruwat ruweting
batos .
09
Mangkono mungguh ingsun, ananging ta sarehne
asnafun , beda-beda panduk panduming dumadi ,
sayektine nora jumbuh , tekad kang padha linakon.
10
Nanging ta paksa tutur, rehning tuwa tuwase
mung catur, bok lumuntur lantaraning reh utami,
sing sapa temen tinemu , nugraha geming
Kaprabon .
11
Samengko sembah kalbu, yen lumintu uga dadi
laku , laku agung kang kagungan Narapati , patitis
tetesing kawruh , meruhi marang kang momong .
12
Sucine tanpa banyu , mung nyenyuda mring
hardaning kalbu, pambukane tata , titi, ngati - ati ,
atetetp talaten atul , tuladhan marang waspaos .
13
Mring jatining pandulu , panduk ing ndon dedalan
satuhu , lamun lugu leguting reh maligi, lageane
tumalawung, wenganing alam kinaot .
14
Yen wus kambah kadyeku , sarat sareh
saniskareng laku , kalakone saka eneng , ening,
eling , Ilanging rasa tumlawung, kono adile Hyang
Manon .
15
Gagare ngunggar kayun , tan kayungyun mring
ayuning kayun , bangsa anggit yen ginigit nora
dadi, Marma den awas den emut , mring
pamurunging lelakon .
16
Samengko kang tinutur, sembah katri kang
sayekti katur, mring Hyang Sukma sukmanen
sehari- hari , arahen dipun kecakup, sembah ing
Jiwa sutengong .
17
Sayekti luwih prelu , ingaranan pepuntoning laku ,
kalakuan kang tumrap bangsaning batin , sucine
lan Awas Emut, mring alame alam amot.
18
Ruktine ngangkah ngukut , ngiket ngrukut triloka
kakukut, jagad agung gimulung lan jagad cilik,
Den kandel kumandel kulup, mring kelaping alam
kono.
19
Keleme mawa limut , kalamatan jroning alam
kanyut, sanyatane iku kanyatan kaki, Sajatine yen
tan emut , sayekti tan bisa awor .
20
Pamete saka luyut, sarwa sareh saliring
panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani ,
tarlen mung pribadinipun , kang katon tinonton
kono.
21
Nging aywa salah surup , kono ana sajatining
Urub , yeku urup pangarep uriping Budi , sumirat
sirat narawung, kadya kartika katongton .
22
Yeku wenganing kalbu, kabukane kang wengku
winengku, wewengkone wis kawengku neng sireki ,
nging sira uga kawengku , mring kang pindha
kartika byor .
23
Samengko ingsun tutur , gantya sembah ingkang
kaping catur , sembah Rasa karasa rosing dumadi ,
dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing
Batos.
24
Kalamun durung lugu , aja pisan wani ngaku-
aku, antuk siku kang mangkono iku kaki , kena
uga wenang muluk , kalamun wus pada melok .
25
Meloke ujar iku , yen wus ilang sumelang ing
kalbu, amung kandel kumandel ngandel mring
takdir, iku den awas den emut , den memet yen
arsa momot .
26
Pamoring ujar iku , kudu santosa ing budi teguh ,
sarta sabar tawekal legaweng ati , trima lila
ambeh sadu, weruh wekasing dumados .
27
Sabarang tindak - tanduk , tumindake lan
sakadaripun , den ngaksama kasisipaning sesami ,
sumimpanga ing laku dur , hardaning budi kang
ngrodon.
28
Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandaming
kalbu, inkang buka ing kijab bullah agaib ,
sesengkeran kang sinerung, dumunung telenging
batos .
29
Rasaning urip iku krana momor pamoring
sawujud , wujuddullah sumrambah ngalam sakalir,
lir manis kalawan madu , endi arane ing kono .
30
Endi manis endi madu , yen wis bisa nuksmeng
pasang semu, pasamaoning hebing kang Maha
Suci, kasikep ing tyas kacakup , kasat mata lair
batos .
31
Ing batin tan keliru, kedhap kilap liniling ing kalbu,
kang minangka colok celaking Hyang Widi ,
widadaning budi sadu , pandak panduking liru
nggon .
32
Nggonira mrih tulus , kalaksitaning reh kang
rinuruh , ngayanira mrih wikal, warananing gaib ,
paranta lamun tan weruh, sasmita jatining
endhog.
33
Putih lan kuningpun , lamun arsa titah teka
mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair ,
bisa aliru wujud , kadadeyane ing kono.
34
Istingarah tan metu , lawan istingarah tan lumebu ,
dene ing njro wekasane dadi njawi , raksana kang
tuwajuh , aja kongsi kabasturon .
35
Karana yen kebanjur , kajantaka tumekeng
saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi , dadi
wong ina tan wruh , dhewekw den anggep dhayoh .
PUPUH V
K I N A N T H I
01
Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas
eling , eling lukitaning alam , wedi weryaning
dumadi , supadi niring sangsaya , yeku
pangreksaning urip .
02
Marma den taberi kulup, angulah lantiping ati ,
rina wengi den anedya, pandak- panduking
pambudi , bengkas kahardaning driya , supadya
dadya utami .
03
Pangasahe sepi samun, aywa esah ing salami,
samangsa wis kawistara , lalandhepe mingis-
mingis, pasah wukir reksa muka, kekes
srabedaning budi .
04
Dene awas tegesipun , weruh warananing urip ,
miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina
wengi, kang mukitan ing sakarsa, gumelar ngalam
sakalir.
05
Aywa sembrana ing kalbu, wawasen wuwus sireki ,
ing kono yekti karasa , dudu ucape pribadi , marma
den sembadeng sedya , wewesen praptaning uwis .
06
Sirnakna semanging kalbu, den waspada ing
pangeksi , yeku dalaning kasidan , sinuda saka
satitik , pamotahing nafsu hawa, jinalantih mamrih
titih.
07
Aywa mamatuh malutuh, tanpa tuwas tanpa kasil ,
kasalibuk ing srabeda , marma dipun ngati - ati ,
urip keh rencananira, sambekala den kaliling .
08
Upamane wong lumaku , marga gawat den liwati,
lamun kurang ing pangarah , sayekti karendet ing
ri, apese kasandhung padhas, babak bundhas
anemahi.
09
Lumrah bae yen kadyeku , atetamba yen wis
bucik , duwea kawruh sabodag, yen ta nartani ing
kapti, dadi kawruhe kinarya , ngupaya kasil lan
melik .
10
Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali ,
wola -wali nora nyata , anggepe pandhita luwih ,
kaluwihane tan ana, kabeh tandha -tandha sepi .
11
Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib baib ,
kasliring titik tan kena , mancereng alise gatik ,
apa pandhita antige , kang mangkono iku kaki.
12
Mangka ta kang aran laku , lakune ngelmu sajati ,
tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail ,
tan njurungi ing kaardan, amung eneng mamrih
ening.
13
Kunanging budi luhung , bangkit ajur ajer kaki , yen
mangkono bakal cikal, thukul wijining utami,
nadyan bener kawruhira, yen ana kang nyulayani .
14
Tur kang nyulayani iku , wus wruh yen kawruhe
nempil, nanging laire angalah , katingala angemori,
mung ngenaki tyasing liyan , aywa esak aywa
serik .
15
Yeku ilapating wahyu , yen yuwana ing salami,
marga wimbuh ing nugraha , saking heb kang
Maha Suci, cinancang pucuking cipta , nora ucul -
ucul kaki .
16
Mangkono ingkang tinamtu , tampa nugrahaning
Widhi, marma ta kulup den bisa , mbusuki ujaring
janmi, pakoleh lair batinnya , iyeku budi premati.
17
Pantes tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama
kembanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri , ora
yen ta ngeplekana , lir leluhur nguni - uni.
18
Ananging ta kudu- kudu, sakadarira pribadi , aywa
tinggal tutuladan , lamun tan mangkono kaki ,
yekti tuna ing tumitah , poma kaestokna kaki .
By Alang Alang Kumitir
www .alangalangkumitir. wordpress .com